Denny JA: SBY & Gatot Itu Sama-sama Muncul Pada Momen yang Tepat, Cuma Beda Situasi



Ditengah tudingan Jenderal Gatot berpolitik dibalik isu pembelian senjata ilegal, nama Denny JA ikut terseret. Dia dituding menjadi salah satu konsultan politik Jenderal Gatot. Pria yang pernah membawa Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono menuju kursi RI 1 ini, menilai kemunculan figur Jenderal Gatot nyaris mirip dengan kemunculan SBY jelang Pemilu 2004 dulu. Denny bilang, Jenderal Gatot dan SBY sama-sama muncul di momen politik yang tepat, yang membedakan hanyalah situasinya. Berikut pandangan sekaligus prediksi Denny JA.

Menurut Anda siapa saja figur-figur yang akan bermain pada Pilpres 2019 nanti? 
Jadi begini ada dua cara untuk melihat siapa saja calon yang satu setengah tahun dari seka­rang ini yang akan berkibar. Pertama adalah melihat hasil survei elektabilitas per hari ini. Namun memang cara ini kurang begitu akurat, karena me­mang pilpres masih jauh. Calon-calonnya juga belum maksimal mengkampanyekan diri. Cara berikutnya adalah dengan cara melihat apa yang dibutuhkan pemilih terkait pemimpin na­sional nasional 2019 dan dari calon yang beredar siapa yang paling memenuhi syarat itu? 

Nah melihat apa yang diinginkan publik saat ini itu setidaknya ada tiga isu yang paling be­sar. Pertama, publik mayoritas menginginkan pemimpin yang kuat yang mampu menumbuh­kan ekonomi. Kedua, karena kemarin Pilkada DKI itu telah membelah kekuatan republik ini menjadi kekuatan kultur Islam dan kekuatan pro Pancasila, maka keinginan publik saat ini adalah mereka ingin pemimpin yang sanggup merangkul dan diterima kedua kekuatan itu. Ketiga, karena begitu dahsyat korupsi saat ini, publik saat ini juga menginginkan pemimpin yang punya record bersih dan berkomitmen terhadap pember­antasan korupsi.

Nah dari figur-figur yang be­redar saat ini, siapa saja yang sanggup memenuhi ketiga keinginan besar publik itu?
Dalam proses mengamati figur-figur calon pemimpin, saya mengamatinya tidak hanya seka­dar pengamatan seorang pem­buat survei dan konsultan politik saja. Jadi selain menggunakan data-data survei, saya menggunakan perspektif fundamental sang calon. Dan itulah yang bisa membedakan hasilnya kelak. Pada Pilkada Jakarta kemarin kan banyak pembuat survei dan konsultan politik yang menga­takan Ahok bakal menang satu putaran, tapi saya memprediksi justru Ahok bakal dikalahkan. 

Saat itu meski data hasil survei yang kami pegang nyaris sama, tapi kesimpulan saya berbeda dengan kebanyakan. Nah yang membedakan itu adalah prespek­tif. Ibarat pemain saham, saya itu tidak hanya mempertimbangkan nilai saham saat ini, tapi juga mempertimbangkan lompatan nilai saham setahun mendatang dan melihat juga fundamental saham itu. Begitu halnya dalam melihat elektabilitas calon, saya tidak hanya melihat elektabilitas hari ini, tapi juga fundamental sang calon. Nah dari ketiga ke­inginan publik yang terangkum tadi, saya melihat figur yang paling kuat adalah Jokowi, Prabowo Subianto dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Itu tiga teratasnya. 

Nah dari ketiga figur itu bagaimana tingkat pengua­saan mereka dalam poin-poin harapan publik itu tadi? 
Kalau saya banding-band­ingkan, untuk strong leadership itu nilai Prabowo lebih tinggi. Mengapa? Karena dia mengon­trol partai besar. Gerindra itu partai besar di bawah Golkar dan PDIP. Beda halnya dengan Jokowi yang tidak mengontrol satu partai pun. Contoh ka­susnya pada saat Jokowi men­gatakan akan membela KPK, tapi ternyata sikap partai-partai koalisinya justru sebaliknya. Mereka menganggap persoalan KPK dengan DPR itu persoalan terpisah, dengan koalisi. Hal itu terjadi karena Jokowi tak bisa mengontrol satupun partai. PDIP partai utama pengusung itu lebih tunduk pada Megawati bukan pada Jokowi. Jadi strong leader­ship Prabowo lebih kuat. Kalau persoalan tumbuhkan ekonomi orang melihat di bawah Jokowi ekonomi tidak tumbuh, malah berdasarkan survei BPS orang miskin bertambah. Nah untuk ini Prabowo juga lebih unggul. 

Poin selanjutnya, untuk yang merangkul kelompok Islam dan pro Pancasila, Jokowi juga tidak terlalu kuat. Kelompok islam konservatif yang dulu melawan Ahok itu tidak terlalu nyaman dengan Jokowi. NU bolehlah dengan Jokowi, tapi di luar NU itu kurang friendly dia dengan Jokowi. Dan yang bisa merang­kul dan diterima oleh kekuatan Islam itu nomor satunya Gatot. Terbukti di twitter banyak #pan­glima di hati muslim. Kalau soal Pancasila, Gatot yang back­groundnya tentara itu Pancasila sudah jadi doktrin. Nah untuk poin ini Gatotlah yang terkuat. Untuk poin pemerintahan bersih, orang masih melihat Jokowi yang kokoh ya, walaupun dia tidak strong. Nggak ada record sejauh ini orang-orang dia bermain ya. 

Lho untuk poin bersih mengapa Jokowi, bukankah di awalpemerintahan Jokowi telah terjadi kriminalisasi terh­adap pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan ada adik iparnya juga sempat terseret kasus korupsi, apakah itu tidak mem­bekas di mata publik saat ini? 

Ya itu kan plus minusnya. Dia enggak terlalu strong, tapi dia dianggap relatif bersih secara personal ya. Karena Jokowi ini tidak punya partai, maka dia tidak punya jaringan partai yang tersangkut KPK. Beda dengan dulu Partai Demokrat yang banyak pengurusnya tersangkut korupsi. 

Kenapa hanya Jokowi, Prabowo dan Jenderal Gatot saja, lantas di mana posisi Jusuf Kalla dan figur calon dari Partai Demokrat pada Pilpres 2019? 
Nah JK (Jusuf Kalla) di tiga poin harapan publik tadi na­manya enggak terlalu muncul, kalah sama Jokowi, Prabowo dan Gatot. Lagi pula JK pernah mengatakan tak akan maju lagi, karena sudah sepuh. 

Sementara figur dari Partai Demokrat dan calon dari partai lain misalnya Agus Yudhoyono, Tuan Guru Bajang, Yusril Ihza Mahendra makomnya wapres, belum jadi presiden. Hal itu disebabkan, pertama karena elekta­bilitas dan citra dari leadernya enggak kuat jika dibandingkan ketiga figur itu. Selain itu ada hambatan partainya sulit untuk memenuhi presidential thresh­old. Jadi untuk wapres apalagi menteri mereka bisalah. 

Jenderal Gatot beberapa kali bermanuver dan mengem­buskan isu yang sanggup mengguncang jagat politik nasional, dari situ apakah ada keuntungan elektabilitas yang direngkuhnya? 
Sementara ini dari aneka isu yang diembuskan Gatot yakni soal senjata, soal PKI juga soal dia baca puisi saya, ketiga isu itu masih dalam toleransi politik ken­egaraan yang masih dalam batas kewenangannya sebagai Panglima TNI. Ada pro-kontra apakah ini sudah masuk dalam politik praktis atau belum itu bisa dilihat dari perlakuan Jokowi terhadap Gatot. Jokowi sebagai pimpinan hingga kini belum ada gerakan untuk menegur atau memecat, dengan begitu itu semua masih hal biasa. Kondisi itu justru menunjukkan ada pesona tersendiri di diri Gatot. Dia mampu menarik sebuah momen kontroversi. [rmol]
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...