Nobel Perdamaian yang Tak Membuat Damai di Myanmar



Kedamaian yang menghinggapi hanyalah asa yang tidak bisa dicapai dari tangan dan hatiti membusuk bertabur nafsu untuk berkuasa ditaburi berbagai macam kepentingan kelompoknya. Nafsu angkara murka dengan menghilangkan nalar yang sempurna.

Nobel perdamaian yang diterimakan kepada seseorang yang dianggap memiliki kontribusi terhadap perdamaian di dunia ini yang dipilih oleh komite yang ditunjuk. Dengan terpilihnya penerima Nobel diharapkan dapat terus memberikan kekuatan terlaksananya perdamaian yang abadi di dunia ini.

Hari-hari ini begitu ramainya berita di berbagai media mengenai pembasmian muslim di Rohingnya yang dipakukan oleh militer di Burma. Pembasmian yang begitu tragis dan mengenaskan dialami oleh saudara-saudara penganut muslim dari segala macam usia.

Kejadian yang diluar hak asasi manusia (HAM) yang diluar batas perikemanusiaan ini bukan hanya sekali ini terjadi tetapi sudah berulangkali tanpa bisa dihentikan oleh siapapun. Seolah-olah kejadian ini menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh militer maupun yang di indikasikan oleh ekstrimis Budha di Burma ini.

PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) hanya bisa melakukan rapat kesana kemari dan diulang-ulang berkali-kali tanpa menghasilkan solusi yang menguntungkan bagi muslim Rohingnya. Sungguh malang nasib muslim Rohingnya yang disiksa dan tersiksa oleh kebijakan PBB yang isinya hanya berunding saja tanpa ada solusi kongkrit.

Resolusi yang hanya berisi kecaman-kecaman saja hanya berujung kepada kebengisan-kebengisan yang berulang-berulang dan diulang-ulang oleh rezim penguasa. Pembiaran Kebengisan yang dilakukan oleh militer terhadap sesama warga negaranya sendiri adalah suatu yang keluar dari fitrah manusia yang memiliki dimensi kebaikan pada kepribadian.

Ap yang disampaikan oleh Theodore M. Newcomb kepribadian merupakan suatu kelompok sikap yang dimiliki oleh seseorang dengan latar belakang dari perilakunya. Dengan begitu, kepribadian yang dimaksudkan yaitu untuk menunjukkan kelompok dari tingkah-tingkah seseorang individu dalam mengetahui, berpikir dan berbuat serta merasakan secara khsusus jika sedang berhubungan maupun keadaan dengan orang lain.

Merujuk pendapat di atas adalah bisa menjadi kemungkinan bahwa kebengisan untuk membunuh orang-orang muslim di Rohingnya yang dilakukan oleh militer dikarenakan situasi membunuh dianggap hal biasa dan lumrah oleh sekelompok anggota yang memiliki kebiasaan dan lingkungan pembunuh.

Kebiadaban yang dilakukan oleh militer dan pelakunya dibiarkan tanpa ada hukuman yang setimpal menjadikan seseorang semakin beringas dan hilang nalar serta hatinya untuk berfikir dan mempertimbangkan ap yang dilakukannya.

Ketika nafsu untuk menghabisi manusia diluar kelompoknya menjadi kebutuhan untuk kelompoknya, maka apapun kebiadaban yang dilakukan di Myanmar bisa jadi dianggap kelompoknya adalah pahlawan karena bisa menghabisi dan membunuh secara biadab kelompok muslim.

Dimanapun ketika muslim yang menjadi korban, orang yang biasanya mulutnya “mangap” lebar berbicara tentang HAM ketika korbannya diluar Islam, kelihatan mulutnya ngilu dan mungkin untuk mengutuk kekejian dan kebiadaban pembunuhan yang terjadi di Myanmar.

Para aktivis HAM yang begitu menggebu-gebu, berbusa-busa dengan framing berita yang diadakan dan dhubungkan agar seolah-olah ilusi itu menjadi kenyataan juga diam seribu bahasa termasuk Aung San Suu Kyi yang sekarang berada di pemerintahan berkuasa.

Aung San Suu Kyi penerima Nobel perdamaian dari Myanmar yang tidak bisa memberikan tauladan perdamaian di negaranya sendiri. Ketika berkuasa malah kekejaman ekstrimis Budha dan militer semakin menjadi-menjadi dan tidak bisa menghentikan kekejaman itu.

Aung San Suu Kyi aktivis HAM yang bersuamikan orang Amerika Serikat ini mulutnya seakan-akan terkunci untuk menyelesaikan dan bertindak terhadap pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di depan matanya sendiri.

Sifat kelembutan dan ketegasan seorang wanita dalam membela Hak Asasi Manusia (HAM) ketika belum berkuasa menjadi sirna karena telah mendapatkan kursi yang di inginkan.

Nobel perdamaian yang tidak membuat damai di Myanmar adalah tamparan keras bagi komite pemberi Nobel yang memilih Aung San Su Kyi ketika menjadi aktivis. Ketika amanah penghargaan itu tidak bisa menjalankan seyogyanya lembaga pemberi Nobel harus mencabut dengan tidak hormat.

Indikator yang paling penting bagi penerima Nobel seperti Aung San Su Kyi adalah bagaimana pembantaian muslim Rohingnya bisa segera dihentikan dan para pelaku bisa dihukum dengan seberat-beratnya.

Hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku akan memberi efek jera kepada yang lain agar tidak membunuh manusia yang lain dengan kekejaman di luar perikemanusiaan.

PBB yang kebanyakan bersidang, segera kirim tentara ke Myanmar untuk melindungi Muslim agar terhindar dari kekejaman ini. Kebiadaban yang sudah berlangsung lama sekali terhadap muslim di Myanmar tidak bisa diselesaikan dengan perundingan harus dengan tindakan yang nyata.

Berbohong adalah tingkatan biasa dalam kepribadian manusia, tercapai kalau sudah memiliki jiwa pembunuh maka kebohongan-kebohongan adalah “slilit” kecil bagi mereka yang sudah terbiasa membunuh dengan biadab kepada sesama manusia. (*)

*Penulis adalah penikmat pendidikan

loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...