Kritik Keras, Ekonom Senior: Utang Terus Naik, Bukan Sinyal Ekonomi yang Baik



Ekonom Senior Rizal Ramli mengatakan posisi utang Indonesia yang terus naik bukan sinyal ekonomi yang baik. Indikator utang yang terpenting bukan pada persentase utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto (GDP), tetapi kemampuan membayar utang terhadap penerimaan dan ekspor.

Sementara, menurut Rizal, posisi utang Indonesia terus naik, namun kemampuan membayarnya melemah.

“Tentu saja bukan sinyal ekonomi yang baik,” tuturnya kepada media, di akhir pekan ini.

Rizal yang juga mantan menteri ekonomi di era Presiden Abdurahman Wahid ini mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama Kementerian Keuangan yang selalu mengklaim rasio utang terhadap GDP masih rendah di bawah 30 persen. Bahkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga mengklaim kalau dilihat dari rasionya, utang Indonesia masih aman.

Padahal, menurut Rizal, indikator utang yang paling penting itu bukan persentasi atau rasio utang terhadap GDP.

“Akan tetapi, yang penting adalah, kemampuan bayar utang terhadap penerimaan ekspor (debt payment ratio). Karena sekarang yang terjadi, utang naik, kemampuan bayar melemah,” tutur dia dalam tulisan di akun resminya, Jumat (11/8).

Kata Rizal, soal utang ini tak masuk akal jika rasionya harus membandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat dan Jepang.

“Membandingkan rasio utang dengan Amerika itu konyol. Karena AS itu tinggal cetak dollar dan jual ke luar negeri, apalagi didukung hegemoni militer dan politik,” jelas dia.

Pemerintah harus tahu kondisi utang di negara-negara yang dibandingkan dengan utang pemerintah Indonesia itu.

“Kalau membandingkan rasio utang terhadap GDP Jepang juga tidak pas. Karena (di Jepang) sebagian besar utang domestiknya itu bunga murah. Sehingga tidak bisa didikte kepentingan bond holder (pemegang surat utang),” papar dia.

Sementara dengan utang yang tinggi itu, kata dia, jadi masalah Indonesia. Karena prioritas utama dalam anggaran terlihat di APBN-P 2017 adalah masih untuk pembayaran utang.

“Itu adalah prioritas dari kreditur (utang). Baru kemudian untuk pendidikan dan infrastruktur,” kata mantan Menko Maritim dan Sumber Daya Presiden Jokowi ini.

Padahal, kata dia, banyak cara inovatif dalam rangka mengurangi utang. Dan cara itu pun sudah dilakukan dirinya pada tahun 2000-2001 lalu, yaitu melalui cara Debt-to-Natire Swap, loan swap, grants dan lain sebagainya.

“Jadi, jangan hanya melu (ikutan) maunya para kreditur,” tuturnya.

Alternatif Kurangi Utang

Rizal menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif baru guna mengurangi porsi utang luar negeri Indonesia. Caranya, dengan Debt for Nature Swap yaitu pengalihan utang untuk membiayai konservasi hutan dan kekayaan hayati.

“Hutan kita itu adalah paru-paru dunia. Dijaga untuk kepentingan warga seluruh dunia. Kita harus berani negosiasi untuk itu. Cara lainnya adalah dengan Loan Swap dan mekanisme Grants. Intinya, jangan hanya ikut maunya kreditor, tapi harus berani negosiasi,” ujarnya.

Saat ini, pemerintah memprioritaskan pembayaran utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, pembayaran utang ini menjadi kemauan pada kreditor.

“Masalah kita kita adalah prioritas utama anggaran adalah masih untuk pembayaran utang. Itu adalah prioritas kreditor. Baru, kemudian pendidikan dan infrastruktur,” ungkap dia. 

loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...