Rizal Ramli: Sudah Waktunya Pemerintah Jujur Ke Publik Soal Utang Negara



Pemerintah harus jujur kepada publik terkait utang luar negeri milik Indonesia. Kejujuran akan membuat publik dengan sukarela membantu pemerintah dalam mencari solusi terbaik dalam membayar hutang, tanpa harus menyulitkan keuangan negara.

Begitu dikatakan ekonom senior, Rizal Ramli saat memberikan kuliah umum di acara pelantikan mahasiswa baru tahun akademik 2017/ 2018 program sarjana dan program pasca sarjana magister Ilmu Hukum Universitas Bung Karno (UBK), Sabtu (9/9).

"Jangan berbohong. Kalau zaman Soeharto hutang itu disebut bantuan buat ngibulin rakyat. Hari ini berbohong dengan mengatakan hanya hanya mengumumkan bunganya. Rp 300 sekian triliun, tapi tidak mengumumkan cicilan pokoknya," sambungnya.

Dari hitung-hitungan Rizal Ramli, jika pinjaman pokok ditambah dengan bunga, pemerintah saat ini dibebankan untuk membayar hutang sebesar Rp 630 triliun per tahun.

"Tahun depan kita harus bayar 740 triliun," sambung Ketua Dewan Kurator UBK ini.

Rizal Ramli bilang, kalau pemerintah maujujur, prioritas anggaran ekonomi bangsa ternyata bukan untuk infrastruktur seperti yang didongengkan oleh Presiden Jokowi selama ini.

"Prioritas kita nomor satu adalah bayar hutang. Yang kedua pendidikan, 20 persen dari anggaran negara, yang ketiga baru infrastruktur," jelas Menteri Koordinator Perekonomian era mendiang Presiden Abdurahman Wahid ini.

Menurut Rizal Ramli, ada banyak cara untuk mengelola atau melunasi hutang. Tapi, kejujuran pemerintah juga penting. Kalau tidak diberikan fakta yang benar, tambahnya, masyarakat juga tidak tahu resiko yang akan ditanggung.

Selain itu, sambungnya, masyarakat pun tak akan ikut membantu mencarikan solusi yang baik agar negara bisa membayar hutang tanpa harus membebani keuangan negara dan menyulitkan ekonomi rakyat.

"Menurut saya sudah waktunya untuk bicara apa adanya, enggak usah ngeles lagi deh. Supaya kita ramai-ramai pikirkan solusinya bagaimana," tegasnya.

Rizal Ramli menambahkan, perekonomian Indonesia sulit karena pemerintah masih tergantung pada utang luar negeri yang diberikan oleh Bank Dunia. Padahal, negara-negara Asia seperti China, Jepang, Singapura dan lain-lain yang ekonominya jauh lebih maju justru ogah memakai model Bank Dunia. Mereka lebih memilih kebijakan ekonomi yang nasionalistik.

"Sementara kita dicekoki jangan berfikir ekonomi konstitusi, jangan berpikir ekonomi nasionalistik. Karena itu kuno, ketinggalan. Salah besar. Di Asia yang ikut model pembangunan Bank Dunia itu hanya Indonesia. Oleh karena itu tidak aneh banyak negara bekas Rusia tumbuh 7 sampai 8 persen," tutupnya. 

[rmol]
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...