Novel Dilaporkan ke Polda Setelah Diteror dan Mau Dibunuh, Jokowi Kembali Diminta Kembali Turun Tangan
Setelah diteror dan didiskriminalisasi berulang-ulang, ditabrak, disiram air keras dan diancam akan dibunuh, kini penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sejumlah kalangan menyatakan prihatin dengan kasus yang menimpa Novel. Akankah Presiden Joko Widodo turun tangan menyelamatkan Novel dari upaya kriminalisasi dan pembungkaman KPK dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi?
Sebelumnya, Presiden Jokowi turun tangan langsung menyelamatkan Novel dari kemungkinan menjalani persidangan, terkait kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya seorang tersangka kasus pencurian ketika Novel masih berdinas sebagai polisi di Bengkulu beberapa tahun silam.
Kasus ini sempat dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk penuntutan dan oleh kejaksaan kemudian dilimpahkan ke pengadilan. Pelimpahan kasus Novel ke pengadilan inilah yang kemudian diributkan lantaran, kasus ini diduga penuh rekayasa oleh pihak kepolisian. Kepolisian dinilai berupaya mencari-cari kesalahan Novel karena KPK berani menyidik kasus yang melibatkan petinggi Polri.
Mendengar desakan masyarakat soal ini, Presiden Jokowi meminta kepada Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti untuk segera menyelesaikan kasus Novel. Presiden juga meminta untuk menuntaskan kasus yang melibatkan mantan pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Juru Bicara Presiden, Johan Budi mengatakan, terkait kasus Novel Baswedan, yang berkasnya telah sampai di pengadilan, Johan mengatakan ada peluang untuk menarik dakwaannya. Namun ditegaskan Johan, penarikan dakwaan tersebut harus sesuai dengan dasar hukum yang jelas.
Turun Tangan
Terkait teror dan upaya kriminalisasi terhadap Novel serta KPK yang terus terjadi membuat berbagai kalangan prihatin. Mereka meminta Presiden Jokowi turun tangan menyelamatkan KPK dan para penyidiknya dari upaya pembungkaman dalam penuntasan kasus-kasus korupsi. Tindakan teror terhadap Novel tentu berkaitan dengan kasus-kasus yang sedang ditanganinya di KPK
“Kasus yang menimpa Novel dan KPK merupakan serangan balik dari mereka yang tidak suka dengan apa yang dilakukan KPK selama ini. Upaya kriminalisasi harus dihentikan, dan hal ini harus dihentikan. Saya berharap Presiden Jokowi turun tangan kembali menyelesaikan upaya kriminalisasi terhadap Novel dan KPK, seperti pernah dilakukan sebelumnya,” kata Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH) Ginanda Siregar di Jakarta, Jumat (8/9).
Menurutnya, kasus dugaan pencemaran nama baik yang menjerat Novel Baswedan merupakan salah satu teror untuk membungkam lembaga KPK dan Novel. Apalagi selama ini Novel telah menangani kasus korupsi yang besar seperti Hambalang, e-KTP dan Century. Oleh karenanya kasus hukum yang menjerat Novel jelas balas dendam dari para koruptor.
"Kami sesalkan kasus bermotif kriminalisasi dan pelemahan kelembagaan KPK ini tetap bergulir. Sementara kasus penyiraman air keras terhadap Novel sampai saat ini belum juga tuntas,” ujar Ginanda.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku tidak kaget Novel berulang kali dilaporkan hingga dikriminalisasi. “Novel gak kaget lah. Kalau kami sering bercanda, sudah memang SOP-nya selalu begini," kata Dahnil usai diskusi publik di Gedung Bina Graha, Kantor Staf Presiden, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2017).
Ia mengatakan, jika ada kasus yang berhubungan dengan kepolisian, terkait politikus berpengaruh, pasti ada hal lain terjadi. "Itu biasanya serangan balik, feedback-nya selalu muncul dan sekarang sedang dihadapi Novel. Tapi Novel seperti biasa menanggapi itu dengan santai dan tidak gentar," tambahnya.
Sebelumnya Dahnil menyayangkan sikap Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Aris Budiman, yang melaporkan penyidik senior KPK Novel Baswedan ke Polda Metro Jaya, 31 Agustus lalu. Menurut Dahnil, sikap Dirdik KPK itu menunjukkan pribadi yang anti-kritik.
Masalah Kecil
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan menilai kasus pencemaran nama baik terhadap Dirdik KPK Brigjen Aris Budiman hanya masalah kecil. Bahkan, kasus ini seharusnya bisa diselesaikan dengan cara arif antara pimpinan KPK dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
"Semestinya hal-hal seperti itu tak terjadi dan saya kira pimpinan kedua lembaga harus menyelesaikan," kata Adnan Topan.
Menurut Adnan, Tito seharusnya tak diam dengan perseteruan ini. Apalagi, kata dia, perseteruan kedua orang internal KPK ini tidak pernah diharapkan publik. "Saya kira itu yang harus jadi perhatian para pimpinan lembaga penegak hukum," ujarnya.
Jika konflik antara Novel dan Aris ini terus dibiarkan, dia khawatir orang yang tak suka dengan pemberantasan korupsi menari di atasnya. Adnan berharap tak ada lembaga penegak hukum yang ikut terseret dalam ketegangan KPK dengan DPR RI. "Jangan sampai ada lembaga hukum yang terseret-seret atau diseret-seret," paparnya.
Penyiraman Air Keras
Terpisah, pengamat hukum dari Univeritas Al Azhar, Prof Suparji Ahmad mengatakan, polisi seharusnya segera menyampaikan kemajuan pengungkapan kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah berbagai spekulasi dari publik bahwa polisi diskriminasi dalam pengamanan kasus yang dialami Novel dibanding kasus yang dilaporkan Aris Budiman.
"Memang tidak mudah mengungkap pelaku suatu kejahatan. Namun demikian sesuai semboyan Polri promoter, profesional, modern dan terpercaya maka polisi akan dapat segera mengungkap kasus Novel terhadap pelaporan Aris Budiman menyangkut pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Novel," jelasnya.
Suparji menegaskan, polisi hendaknya bertindak proporsional dengan mendasarkan unsur pidana dan alat buktinya. Sehingga tidak ada diskriminasi dalam penanganan kasus yang menimpa Novel maupun kasus yang dilaporkan Aris Budiman. "Sampai sejauh ini kedua kasus sama-sama direspon. Tetapi mungkin ada proses pembuktian yang berbeda dalam menangani kasus Novel maupun Aris Budiman," paparnya.
sumber: harianterbit
loading...
loading...