Tambah Subsidi Energi di APBNP 2017, Indef: Bukan Mau Sejahterakan Rakyat, Tapi Cuma Cari Simpati
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, sikap pemerintah dalam menyusun asumsi makro di APBN Perubahan 2017 membingungkan. Terutama terkait kebijakan menaikkan harga minyak Indonesia (ICP) di saat harga minyak dunia masih anjlok.
Ditambah lagi, peningkatan subsidi energi juga cukup unik. Kendati subsidi itu bagus, namun hal itu dilakukan setelah sejak awal tahun pemerintah mencabut subsidi listrik 900 VA. Sehingga, penambahan subsidi ini bukan semata-mata tujuannya ingin menyejahterakan rakyat, melainkan hanya akan menghadapi tahun politik saja.
“Jadi, formula fiskal kali ini (APBNP 2017) sangat membingungkan. Seperti dari sisi asumsi makro, target ICP ternyata dinaikkan menjadi US$50 per barel dari sebelumnya US$ 45 per barel,” tegas dia, kepada Aktual.com, Kamis (13/7).
Padahal, kata dia, harga minyak di pasaran kian amblas sejak pertengahan April lalu. Seperti harga minyak jenis WTI akhir pekan lalu saja hanya dihargai US$44,23 per barel. Atau merosot 17,7 persen dibanding posisi April 2017.
“Sebenarnya, outlook harga minyak masih sangat fluktuatif dengan kecenderungan menurun pd Semester II mendatang. Jadi disayangkan kalau ICP naik, karena berdampak ke pembengkakan anggaran,” cetus dia.
Imbas yang jelas, katanya, membuat belanja pemerintah pun bengkak sekitar Rp30,9 triliun dari kesepakatan awal. Satu di antara pembengkakan berasal dari subsidi energi yang naik dari Rp77,3 triliun menjadi Rp103,1 triliun.
“Salah satunya subsidi listrik juga ikut melonjak Rp7 triliun. Langkah ini saya rasa berkaitan dengan motif politik, di mana pemerintah ingin menjaga agar harga ВВМ bersubsidi dan listrik tidak melonjak sampai akhir tahun,” ujarnya.
“Kepentingannya itu hanya politis. Sebentar lagi mau tahun politik (2018-2019) segala kebijakan yang kurang populis pasti dihindari pemerintah,” jelas Bhima.
Namun, langkah unik menambah belanja subsidi energi di tengah tren penurunan harga minyak di pasaran juga menimbulkan konsekuensi. Harus ada belanja yang dikorbankan. Dan defisit pasti akan melonjak.
Makanya, pemerintah menaikkan defisit dari 2,41 persen jadi 2,92 persen. Kalau dihemat, bisa hanya 2,67 persen. Sehingga dampaknya pemerintah banyak cari utangan baru. Diprediksi akan bertambah Rp33-67,3 t.
“Sebelumnya kebutuhan utang mencapai Rp400 t. Sehingga terancam bengkak menjadi Rp467,3 triliun,” ungkap dia.[akt]
loading...
loading...