Rasa Garam Mendadak Pahit
Melambungnya harga garam akibat kelangkaan produksi menjadi perhatian masyarakat. Rerata mereka mempertanyakann bagaimana negara dengan garis pantai sepanjang 95.181 km seperti Indonesia bisa kekurangan garam.
Masyarakat lalu mengungkit keseriusan pemerintah untuk menjadikan garam supaya dimasukkan ke dalam sektor strategis. Pemerintah sampai saat ini kurang gigih memanfaatkan dan memperjuangkan potensi tambak garam yang kita miliki untuk menghasilkan daulat perasa asin tersebut.
Kebijakan potong kompas dengan impor dalam jangka pendek memang dapat membantu mengatasi persoalan. Akan tetapi, apa guna negara jika tak pernah berusaha untuk mandiri atau swasembada dalam bidang yang di dalamnya kita memiliki potensi besar.
Secara tradisional, tambak garam di Indonesia cukup luas luas, tersebar di sejumlah daerah seperti Madura, NTT, Sulawesi Selatan dan sebagian pesisir utara Jawa.
Kebutuhan akan garam nasional (2014) 3,61 juta ton (garam konsumsi 1,48 juta, industri 2,13 juta). Pada 2017 diprediksi kebutuhan garam nasional 4,5 juta ton (2,3 juta ton garam industri dan 2,2 juta ton garam konsumsi). Produksi garam nasional (2014) 2,19 juta ton (dari PT Garam 315 ribu ton, dari rakyat 1,888 juta ton. Luas lahan tahun 2015 25.830 hektare).
Dari data yang sudah ada tersebut, seharusnya pemerintah bisa secara serius mengurus dari proses produksi sampai ke distribusi.
Di tingkat masyarakat, sistem produksi garam menggunakan sistem evaporasi yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap setelah beberapa lama, akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut.
Dalam teknologi sederhana tersebut, petani membutuhkan aliran air laut yang konsisten. Sekali hujan, petani akan gagal. Selain kadar garam dari air laut yang berkurang, garam yang setengah jadi pun akan membusuk.
Setahun ini yang hampir tidak ada kemarau membuat tambak tradisional tersebut tidak beroperasi. Kondisi ini tak hanya semata membuat kelangkaan garam tetapi mengancam industri pengemasan, yang banyak dilakukan di tingkat UMK.
Untuk meningkatkan produksi garam, pemerintah harus membantu para petani dalam teknologi dan fasilitas penyimpanan. Kalau tidak dibantu, petani garam Indonesia tidak akan kompetitif. Sebab, jika dihadapkan pada Australia, misalnya, petani kita bakal kalah karena garam di sana tinggal keruk dan kemas. Pemerintah pun disarankan untuk mengimitasi India karena mereka menghasilkan proses yang hampir sama dengan Indonesia.
Optimalisasi kecanggihan teknologi untuk produksi dan pengolahan sebagai solusi meningkatkan produktivitas komoditas garam juga mendesak dilakukan karena indikasi penurunan tambak garam di pulau Jawa sebagai salah produsen garam terbaik.
Pemanfaatan teknologi produksi dan pengelolaan garam sempat menjadi isu pennting saat Dahlan Iskan menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan tetapi, pergantian menteri membuat wacana ini tenggelam. Pemerintahan SBY pada 2011 juga sudah mulai membentuk organisasi pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) dan Non PUGAR (swadaya masyarakta), tapi tampaknya sekarang fungsinya kurang terlihat.
Berulangnya kondisi kelangkaan garam seperti ini membuat sebagian pihak mendesak pemerintah untuk membentuk satuan tugas atau Satgas Garam, program yang banyak dilakukan di sektor lain di era kepemimpinan Jokowi. Pembentukan satuan tugas diperlukan karena melalui satgas ada upaya yang total untuk menuntaskan persoalan garam, dan personel satgas melibatkan lintas sektor. Keberadaan Satgas 007 Garam juga tidak boleh dibatasi pada persoalan penindakan saja, tetapi juga pada persoalan bagaimana menggiring setiap pihak untuk patuh pada aturan atau sistem yang dianut.
Apa pun kebijakan untuk menghasilkan solusi dari pemerintah sangat ditunggu oleh rakyat. Mereka pastinya ingin garam tetap murah dan terasa asin, tak berubah jadi pahit karena harga yang terlampau tinggi dan langka.
loading...
loading...