Sri Mulyani Sebut Setiap Orang Indonesia Tanggung Utang Rp. 13 Juta, Gerindra: Itu Menyakitkan Hati



Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat menyakitkan hati rakyat Indonesia. Pasalnya, ia menyebut setiap orang Indonesia harus menanggung utang negara sebesar Rp 13 juta. Pernyataan ini disampaikan dalam kuliah umum di Kampus STAN beberapa waktu lalu.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menilai tidak elok pernyataan itu dilontarkan dari mulut seorang Menkeu di tengah ekonomi nasional yang melesu. Apalagi, publik sangat tidak menyukai politik utang yang sangat masif dilakukan pemerintah saat ini. Bagaimana pun utang sangat tidak sehat dan mengancam kestabilan ekonomi nasional.

"Pernyataan bahwa rakyat Indonesia punya utang sebesar Rp 13 juta per kepala, sangat menyakitkan. Sebab, rakyat Indonesia merasa tak punya utang. Kapan, di mana, dan kepada siapa mereka berutang, kan, tak jelas. Itu seperti disambar petir di siang bolong. Tak berutang, tapi tiba-tiba dicap punya utang," kritik politisi muda Gerindra ini, Rabu (26/4).

Heri mengimbau agar Menkeu mengeluarkan pernyataan yang menyejukkan di tengah situasi sosial-ekonomi-politik yang tidak kondusif. Bila Menkeu tidak berhati-hati dengan pernyataannya, ingatan publik akan tertuju pada mega korupsi Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun dan Sri Mulyani sebagai Menkeu waktu itu diduga berada di belakangnya. Kedekatannya dengan IMF dan Bank Dunia diduga telah menyelamatkan dirinya dari jerat hukum.

Heri pun mengungkapkan, Sri Mulyani belum mampu melepas pengelolaan fiskal dari utang. Padahal, utang sangat tidak menyehatkan. "Menempuh jalan berutang adalah ancaman terjadinya guncangan keuangan. Kasarnya, pemerintah gali lobang untuk tutup lobang," tandas Heri.

Saat yang sama, seperti dikutip dari Parlementaria, Sri Mulyani sebagai Menkeu juga belum bisa melepas ketergantungan dari Surat Berharga Negara (SBN). Ini merupakan ancaman baru.

"Kita tahu, kontribusi SBN terhadap total pembiayaan utang rata-rata mencapai 101,8 persen per tahun. Sedangkan terhadap total pembiayaan anggaran mencapai 103,3 persen per tahun (RAPBN 2017). Kecanduan yang berlebih terhadap SBN tersebut sudah pasti akan meningkatkan risiko fiskal," urainya lebih lanjut.

Pada bagian lain, masih menurut Heri, hingga kini, belum ada terobosan dan inovasi atas jeratan defisit anggaran yang makin menganga lewat kebijakan fiskal yang kredibel.

"Kita tahu, dalam kurun lima tahun terakhir, realisasi defisit anggaran cenderung meningkat. Penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen," demikian Heri Gunawan.



loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...