Marwah Hakim Dipertaruhkan, Di Sidang Vonis Ahok 9 Mei Mendatang



Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi mengatakan, dalam adagium hukum, meskipun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan. Mengartikulasikan hal itu, ia menegaskan posisi Komisi Yudisial adalah untuk menegakkan dan memastikan independensi hakim, kredibilitas dan tidak terintervensi oleh apapun.
“Komisi Yudisial dari awal menjaga dan mengawal proses kode etik dalam persidangan. Kalau ada yang ganjil, kasus ini di selesaikan secara hukum. Namun, ada yang menyeret hal ini ke politik,” papar Farid Wajdi pada diskusi akhir pekan Polemik Sindotrijaya FM di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4).
Kepada para Hakim ia meyakini, dinamika di luar persidangan merupakan hal biasa dalam demokrasi. Hakim tetap harus berada di posisi independen, hak merdeka dan kemandirian.
“Hakim tidak boleh baca koran, baca media sosial, televisi, Whatsapp-an, dan lain sebagainya. Sebab dalam konteks seperti ini hakim harus mmilih jalan sunyi,” ungkapnya. Pemaknaan jalan sunyi kata Farid adalah independensi. Silakan Jaksa dengan tuntutannya, Pembela dengan pledoinya dan publik dengan penilaiannya.
“Hakim tidak boleh mempertimbangkan atas suasana yang ada, berikan Hakim keleluasaan, dalam filsafat hukum hal itu disebut tujuan kemanfaatan hukum,” tandas Farid.
Menanggapi makna jalan sunyi, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah menegaskan, Hakim tidak boleh berada pada jalan sunyi alias independensi. Justru, Hakim harus melihat fakta sosiologis dan yuridis yang berkembang. “Hakim tidak terbatas pada tuntutan, Hakim akan menggali nilai-nilai dan fatwa di tengah masyarakat, Hakim bebas untuk menentukan ultra petitum (tuntutan maksimal),” tegas Ikhsan.
Ikhsan menjelaskan, bukan karena Ahok non Islam dan minoritas kemudian dituntut ultra petitum oleh mayoritas. Ia mencontohkan, Lia Eden beragama Islam dituntut 5 tahun, Gafatar, Moftahul Mulis, Tajung Luluk juga dituntut hukuman maksimal. “Ini semua kalau kita lihat, semua dihukum maksimal. Penista agama ini harus diberikan efek jera Untuk menjaga keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia,” tegasnya.
JPU tidak memberikan hukuman yang sebenarnya kepada Ahok, bagi Ikhsan, hal ini berarti mendelegitimasi produk hukum yang telah dikeluarkan oleh MUI pada 11 November 2016 lalu. “MUI tentu menghimbau proses keadilan ini tetap di jaga dan di hormati. Kita tetap harus menjunjung keadilan. Majelis Hakim harus memegang teguh sosiologis di masyarakat,” tukas Ikhsan.
Ikhsan yang juga Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI ini mengutip perkataan Raa’is Am PBNU KH. Miftahul Ahyar bahwa perkataan Ahok telah membuat penyesatan terhadap umat dan memecah-belah bangsa Indonesia. “Kita tidak boleh melakukan peradilan jalanan, kita tetap percaya pada Majelis Hakim untuk memberikan keadilan seadil-adilnya,” pungkasnya.


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...