Terkait Penerapan Al-Maidah Ayat 38, Ahli Kubu Ahok Bilang “Bodoh”



Prof Dr Hamka Haq sebagai saksi meringankan terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), melontarkan pernyataan yang dinilai kontroversial.
Hal itu dilontarkan dalam posisinya sebagai ahli agama Islam pada sidang lanjutan ke-16 kasus Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/03/2017).
Ia menyampaikan itu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hamka ditanyakan terkait, apakah bisa dianggap negatif perbuatan seseorang yang mengatakan bodoh kepada orang lain yang mengimani suatu ayat al-Qur’an.
Tak langsung menjawab pokok pertanyaan, Ahli yang juga anggota Komisi VIII DPR RI dari Partai PDIP ini lantas memberikan contoh Surat al-Maidah ayat 38. Ayat ini menyebutkan sanksi potong tangan bagi orang yang mencuri.
Menurut Hamka, ketentuan sanksi potong tangan dalam Surat al-Maidah:38 tidak berlaku di Indonesia karena sanksi tersebut tidak diundangkan.
“Kalau tidak diundangkan maka tidak mengikat. Bodoh orang yang menyatakan sanksi potong tangan bisa dilaksanakan (di Indonesia),” ujar Wakil Ketua Mustasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) ini lansir GNPF MUI.
Menurut pengajar di Pascasarjana UIN Makassar ini, ada alasan mengapa ketentuan al-Qur’an yang dicontohkan oleh Surah al-Maidah:38 itu tidak mengikat. Menurutnya, ketentuan al-Qur’an dalam konteks hukum di Indonesia diklasifikasikan ke dalam 3 golongan.
Pertama, ketentuan perihal ibadah yang telah dilindungi dalam UUD 1945, yaitu setiap warga negara bebas memeluk agama dan menjalankan ibadahnya masing-masing.
Kedua, ketentuan al-Qur’an yang telah diundangkan seperti perihal perkawinan. Ketentuan ini menurutnya mengikat karena sudah diatur dalam undang-undang.
Ketiga, ketentuan al-Qur’an yang tidak diundangkan, seperti kembali ia mencontohkan ketentuan sanksi potong tangan yang disebutkan dalam Surah al-Maidah:38. Sebaliknya yang mengikat, menurutnya, adalah sanksi penjara  sebagaimana diatur undang-undang.
Hak Asasi Beragama
Nasrullah Nasution, advokat yang turut mengikuti jalannya persidangan ke-16 itu menyatakan, Hamka yang dihadirkan Tim Penasihat Hukum (PH) Ahok ini bukanlah ahli agama Islam, melainkan elit politik.
Keterangan yang disampaikan Ahli, kata Nasrullah, juga sudah berpihak sehingga tidak mungkin lagi dapat diperoleh keterangan yang sah dari ahli ini.
“Ahli ini, kan, statusnya anggota DPR RI dari partai yang mengusung Ahok di Pilkada Jakarta, mana mungkin bisa netral,” ujarnya.
Nasrullah menjelaskan, Hamka sedang menggiring opini dengan menganalogikan Surat al-Maidah:38 dengan Surat al-Maidah:51.
PH Ahok sepertinya akan mengutip keterangan ahli ini dan mencantumkannya dalam nota pembelaan. Mereka akan menyebut ketentuan Surat al-Maidah:51 tidak mengikat di Indonesia karena tidak diformalkan dalam peraturan perundang-undangan, sebutnya.
Sebaliknya, ia menjelaskan, ketentuan Surat al-Maidah:51 telah terlindungi dalam konstitusi sebagai hak asasi beragama yang diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD Negara RI tahun 1945.
Ia mengatakan, memilih pemimpin seagama merupakan hak asasi setiap warga negara sebagai manifestasi pelaksanaan hak asasi beragama.
Koordinator Persidangan GNPF MUI ini pun menggarisbawahi apa yang sudah disampaikan Hamka dalam persidangan itu.
Menurut catatannya, Hamka sudah menerangkan dengan gamblang bahwa perbuatan seseorang yang mengatakan bodoh kepada orang yang mengimani al-Qur’an adalah perbuatan yang tidak dibenarkan.



loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...