Ahok, Politisi Tionghoa Yang Gagal Merepresentasikan Kesabaran Tionghoa


Saya termasuk yang senang mengoleksi film-film dan serial drama berlatar belakang politik. Khusus berlatar belakang politik dan silat. Banyak yang belatar belakang sejarah dinasti-dinasti Cina klasik.
Ada kalanya setingnya jatuh bangunnya dinasti dengan tokoh pendobraknya. Ada kalanya intrik kekuasaan dipuncak kejayaan sebuah dinasti. Bahkan tidak jarang setting utamanya adalah percintaan tokoh-tokoh sentral politik.

Sebutlah misalnya Sam Kok dengan latar belakang saat di ada negara yang saling berusaha menguasai daratan Cina dengan beraneka ragam intrik cerdas dan karakter tokohnya. Putri Giok dengan setting percintaan antara Kaisar termashur Dinasti Qing, Kang Xi, dengan Putri Kaisar terakhir Dinasti Ming. Pangeran Menjangan, Red Clif I dan II, dan lain sebagainya.

Satu pelajaran yang sangat menarik adalah bagaimana kemenangan dan kendali perpolitikan selalu berada dalam genggaman tokoh-tokoh yang sabar dan tenang. Terlepas tokoh tersebut antagonis maupun protagonis. Terlepas tokoh tersebut seorang Kaisar, Perdana Menteri, Menteri, Jenderal, bahkan pimpinan kasim, manusia kebiri, sekalipun.

Hal itu mengingatkan penulis pada tokoh pemersatu Jepang Toyotomi Hideyosi yang terkenal dengan slogannya "Saya tidak pernah bisa menguasai negeri para kaisar (Cina) karena saya kalah sabar dengan Kaisarnya". Padahal Toyotomi Hideyosi menapak karie dari pembawa sandal Nobunaga sampai mencapai puncak sebagai pemimpin tertinggi politik dan militer Jepang sampai kematiannya dengan memgandalkan kesabaran dan kemampuan menjaga bicara.

Kalau diperhatikan, hampir semua pemimpin besar dalam lintasan sejarah adalah orang-orang yang mampu menjaga kesabaran dan lisan dalam menjalankan politik. Menjaga kesabaran memang identik dengan menjaga mulut. Nabi Muhammad, Nabi Daud, Aleksander Agung, Jengis Khan, Salahudin Al Ayubi adalah sederet tokoh lain dalam sejarah yang menggapai kegemilangan karena mampu menjaga kesabaran dan lisannya. Menggunakan lisannya pada saat yang tepat dengan pilihan kosa kata dan intonasi yang sesuai keadaan.

Dua hal itulah yang tidak atau kurang dimiliki Ahok. Padahal momentum sedang berpihak padanya. Tiba-tiba Prabowo begitu getol menjagokannya sebagai Calon Wakil Gubernur DKI tahun 2012 mendampingi Jokowi padahal dia berasal dari perpaduan agama dan etnis minoritas yang relatif apolitik, Kristen dan Tionghoa. Sejarah saat itu berpihak, pasangan Jokowi-Ahok terpilih.

Tidak berhenti di situ, Jokowi terpilih menjadi Presiden tahun 2014, Ahok otomatis naik jadi Gubernur DKI Jakarta. Gubernur kedua yang berasal dari etnis Tionghoa.

Banyak yang berdecak kagum dengan sepak terjangnya selama memimpin Jakarya sebanyak kontroversial dan musuh politik yang menyertainya. Survei-survei masih menjagokan Ahok memenangkan Pilkada DKI 2017. Artinya pemilih lintas agama, etnis, dan ideologi berhasil diyakinkan oleh Ahok untuk tetap memilihnya.

Sampai pada suatu titik waktu di mana petuah lama menunjukkan kebenarannya "Mulutmu harimaumu yang akan menerkam kepalamu". Ahok gagal membawakan diri sebagai politisi yang menghiasi dirinya dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan bicaranya. Tersangkut Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu. Serta merta lisan Ahok berubah menjadi harimaunya yang siap menerkam kepalanya karena menyangkut hal paling sensitif bagi umat Islam telah disinggungnya. Padahal tidak ada urgensinya Ahok bicara itu terkait pencalonannya sebagai Gubernur DKI. Ucapan yang seharusnya bisa terkendali sebagaimana banyak dicontohkan tokoh-tokoh politik dalam sejarah panjang Cina gagal dimiliki Ahok. Kegagalan pengendalian bicara yang membawanya ke kursi pesakitan di masa kampanye. Secara politik ini adalah kegagalan Ahok.

Kedepan semoga tokoh-tokoh politik fenomenal dan pendobrak tradisi kemapanan seperti Ahok lebih bisa menjaga kesabaran dan lisannya. Jangan sampai lisan berubah menjadi harimau yang siap menerkam diri sendiri.

Kita semua tetaplah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika yang pada masa depan akan menjadi Pemimpin Dunia. Semoga. [***] 

Penulis adalah Sekjen Community for Press and Democracy Empowerment (PressCode) 
sumber : rmol


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...