Sertifikat Pulau D Reklamasi Terbit, BPN: Kami Hanya Menerbitkan
Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara mengeluarkan surat dengan nomor 23-08-2017.-1687/HGB/BPN-09. 05/2017 kepada Perusahaan Pengembang PT Kapuk Naga Indah pada Kamis (24/8), hal tersebut mendapatkan banyak kecaman dari pakar pertanahan, sebab dikeluarkannya sertifikat Pulau D tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta, M Najib Taufik justru mengatakan dikeluarkannya sertifikat tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Penerbitan HGB di atas HPL adalah kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota,”kata Najib, di Jakarta, Selasa (29/8).
Selain itu pihaknya enggan berkomentar, Najib mengatakan hanya menjalankan wewenangnya dalam mengeluarkan Hak Guna Bangunan.
“Perjalanan investasi sudah diperintahkan sejak 1995 terseok-seok karena modal dan sebagainya. Saat ini sudah menanamkan investasi sehingga terbentuklah pulau D. Ini kan memerlukan investasi yang tidak sedikit. Kita buatkan sarana pembantu dalam bentuk hak guna bangunan, tugas BPN hanya menerbitkan,” kata Najib.
Menurut Najib, HGB yang diberikan seluas 3,12 juta meter persegi itu adalah HGB induk yang pemanfaatannya 52,5 persen untuk kepentingan komersial sedangkan 47 persen untuk kepentingan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Jangka waktu HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang atas persetujuan pemegang HPL yaitu Pemda DKI Jakarta.
Sementara menurut Pengamat dan Praktisi Pertanahan Nelfinda Jamil, penerbitan sertifikat Pulau D Reklamasi itu memiliki cacat hukum. Dia pun merinci alasan kenapa sertifikat itu dinilai cacat hukum.
“Karena sesuai dengan UU, satu pulau itu tidak bisa diberikan sertifikat untuk satu badan hukum, minimal harus untuk dua badan hukum,” kata Nelfinda kepada Swamedium.com.
“Untuk satu pulau bisa diberikan sertifikat ke satu badan hukum hanya kalau menyangkut keamanan negara dan sertifikatnya harus atas nama negara,” sambung dia.
Nelfinda juga menyebutkan, status pulau-pulau reklamasi saat ini adalah masih moratorium, yang artinya tidak diperkenankan dilakukan perubahan termasuk masalah dokumentasi legalitas terhadap pulau-pulau tersebut.
“Kemudian untuk sertifikat itu harus dikeluarkan fatsum-fatsum yang ada disana, dan yang lebih parah lagi adalah areal itu masih moratorium, tidak boleh di-apa-apa-kan sampai izinnya lengkap,” jelasnya.
Nelfida menjelaskan, Surat Edaran (SE) Menteri Agraria/Kepala BPN 14 Juli 1997 No. 500-1698 yang masih berlaku hingga kini, menyebutkan permohonan izin lokasi dan hak atas tanah yang meliputi keseluruhan dari satu pulau tidak diperkenankan.
“Kalau ada cacat hukum dalam menerbitkan sertifikatnya dan penerbitan tetap dilakukan, artinya ada itikad buruk dari si penerbit,” tegas dia.
Untuk itu dia berharap ada pihak yang mau mengajukan pembatalan sertifikat pulau reklamasi itu ke ranah pengadilan.
“Untuk melakukan gugatan ini saya yakin bisa menang dan sertifikat itu dibatalkan,” kata Nelfida.
Dikatakan Nelfida, berdasarkan UU Pokok Agraria, pembatalan sertifikat hanya bisa dilakukan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Meski begitu, dia mengakui gugatan tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat banyaknya tunggakan kasus perdata di Mahkamah Agung.
“Nah ini waktunya yang sangat lama dan tidak bisa diprediksi karena tunggakan kasus perkara perdata di MA banyak, apalagi kalau para pengembang taipan itu ikut bermain mata dengan MA, bisa semakin lama keluar putusan MA tersebut,” tandasnya.
Namun Nelfida kembali menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum berat dalam penerbitan sertifikat pulau reklamasi tersebut.
“Yang jelas mereka sudah melakukan pelanggaran hukum berat dan cacat hukum,” pungkasnya.
loading...
loading...