Asosiasi Petani Minta Pemerintah Batasi Gula Impor



Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia ( APTRI) minta pemerintah membatasi impor gula sesuai kebutuhan agar tidak mematikan petani tebu lokal. Selain itu, pabrik gula milik BUMN dinilai perlu direvitalisasi agar hasil produksinya memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Seperti diketahui, petani mengeluh gula yang diproduksi oleh perusahaan dalam negeri miliki badan usaha milik negara (BUMN) dianggap tidak memiiki kualitas baik (tidak sesuai SNI), sehingga ribuan ton gula lokal tersebut menumpuk di gudang. Di sisi lain, gula impor justru membanjiri pasaran.

Sekretaris Jenderal APTRI M Nur Khabsyin mengatakan, gula milik petani tidak laku karena banyaknya gula impor masuk, baik dari gula impor untuk konsumsi maupun dari rembesan gula rafinasi.

“Kami minta impor gula untuk konsumsi dibatasi sesuai kebutuhan saja dan tidak boleh dipasarkan pada saat musim giling. Tolong serap gula petani lokal,” kata Khabsyin dalam orasinya di depan Istana Negara, Senin (28/8). Kabasyin berorasi di hadapan ribuan petani tebu dari berbagai daerah yang demo ke Jakarta untuk memperjuangkan harga gula lokal yang kian terpuruk.

Khabsyin menjelaskan, saat ini banyak rembesan gula rafinasi di beberapa daerah. Ini membuktikan ada kelebihan jumlah gula yang diimpor. Pemerintah harus bisa menindak tegas pelaku perembesan tersebut karena selama ini pemerintah menyebut tidak akan membiarkan gula rafinasi merembes ke masyarakat sebagai gula konsumsi.

Terkait kualitas gula yang tidak sesuai SNI, Khabsyin meminta agar pemerintah bisa sesegera mungkin melakukan revitalisasi pabrik gula BUMN yang memang sudah berumur.

“Jangan sampai pabrik ini justru ditutup sebelum didirikan pabrik gula baru. Jika pemerintah memang tidak memiliki anggaran untuk merevitalisasi pabrik tersebut melalui anggaran dalam negeri, maka berikan kesempatan kepada pihak swasta untuk bekerja sama dengan BUMN dalam rangka mewujudkan swasembada gula,” ucapnya.

Kasus gula tersebut memancing komentar banyak warganet. Mereka mempertanyakan mengapa gula yang diproduksi BUMN justru dikatakan mendag tidak memenuhi kualitas SNI. “Bagaimana mau memenuhi SNI? Pabrik gula BUMN ini seperti anak tiri, tidak pernah diurus. Rata-rata peninggalan zaman Belanda. Tidak ada peremajaan mesin, terus disuruh bersaing dengan pabrik milik Salim Group dan Gulaku (Sugar Indonesia),” tuturnya.

Giliran hasilnya tidak sesuai SNI, tidak boleh diedarkan.”Nangis gak kalian yang jadi petani tebu, yang tebunya digiling di pabrik BUMN,” lanjutnya.

Di sisi lain, gula impor terus dibuka, termasuk raw sugar yang diolah menjadi gula rafinasi yang mestinya tidak boleh beredar untuk dikonsumsi langsung masyarakat.

Melihat situasi tersebut, dikhawatirkan petani gula lokal akan mati dan ketergantungan akan gula impor makin besar.

Di sisi lain, APTRI juga kecewa dengan patokan harga gula lokal yang dibeli oleh pemerintah. Harga gula tani tahun ini merosot tajam yakni rata-rata Rp 9.000-9.500 per kg dibanding tahun 2016 yang mencapai rata-rata Rp 11 ribu-11.500 per kg. Penurunan harga ini membuat kerugian yang cukup besar di tingkat petani.

Menurut Khabsyin, harga acuan gula tani (HPP) Rp. 9.100 per kg adalah sangat rendah karena masih dibawah biaya pokok produksi (BPP). BPP gula tani sebesar Rp 10.600 per kg, akibat dari rendemen rendah, produktifitas rendah dan biaya garap yang naik.

“Kami minta ada kenaikan HPP menjadi Rp 11 ribu per kg,” ujarnya.

APTRI menolak pembelian gula Rp 9.700 per kg oleh Bulog, karena harga tersebut masih dibawah biaya pokok produksi dan selisihnya jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan yakni Rp 12.500 per kg sehingga margin untuk distribusi terlalu besar. APTRI meminta pemerintah menaikan HET gula menjadi Rp 14 ribu per kg, atau ketentuan HET dihapuskan saja.

Angka beli gula tani Rp 11 ribu per kg dirasa wajar karena petani mendapat keuntungan yang sesuai, dari usaha tani tebu selama setahun, pedagang juga untung dan juga tidak memberatkan kepada konsumen. Dengan harga acuan HET Rp 12.500 per kg pedagang akan menekan harga ke petani karena batasan HET terlalu rendah mendekati BPP gula tani Rp. 10.600 per kg sehingga margin untuk distribusi dirasa sangat mepet, akibatnya harga gula tani yang ditekan.

“Penerapan HET pada saat musim giling/panen kami anggap tidak tepat dan tidak adil karena saat panen petani tidak bisa menikmati harga yang baik,” papar Khabsyin. 

loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...