Yusril Ingatkan Presiden Tidak Bisa Bubarkan Ormas Dengan Keppres, "Melanggar Norma Hukum yang Ada"
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai upaya pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) melalui Keputusan Presiden (Keppres) bertentangan dengan asas negara hukum.
Hal itu disampaikan Yusril menanggapi rencana pemerintah yang akan membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Perppu atau Keppres.
“Pembubaran ormas melalui keppres melanggar norma hukum yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang di dalamnya mengatur prosedur pembubaran ormas,” kata Yusril melalui keterangan tertulis yang diterima SERUJI, Kamis (18/5).
Usulan mengenai pembubaran ormas melalui keppres sebelumnya diusulkan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
Menurut Jimly, melalui keppres, upaya pembubaran HTI oleh pemerintah bisa dilakukan dengan cepat dan tak perlu melalui proses peradilan yang butuh waktu lama.
Yusril mengingatkan, ormas yang sudah disahkan sebagai badan hukum tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pemerintah, melainkan setelah ada izin atau persetujuan pengadilan.
“Ini semata-mata dilakukan untuk mencegah Presiden bertindak sewenang-wenang membubarkan ormas yang mungkin saja berseberangan dengan dirinya,” kata Yusril.
Dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut oleh UUD 1945, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa landasan hukum yang jelas.
“Karena itu, tak boleh dibukakan pintu bagi Presiden Joko Widodo untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum. Kecuali, ada situasi sangat genting yang memaksa presiden untuk mengambil langkah revolusioner dalam keadaan yang tidak normal untuk menyelamatkan bangsa dan negara,” jelas Yusril.
Yusril mengatakan, membubarkan ormas dengan cara “menggebuk”, jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku, akan membawa implikasi politik yang luas. Sebab, sumpah jabatan presiden mengatakan akan berlaku adil serta memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, dan segala peraturan dengan selurus-lurusnya.
“Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan,” tutur Yusril.
Kalau Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan, menurut Yusril, secara diam-diam kita telah membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang.
“Kalau kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu. Lambat laut, Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan,” tambahnya mengingatkan.
Yusril mengingatkan akan sejarah, ketika Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Ketika Masyumi melawan ke pengadilan melalui Mohamad Roem, pengadilan mengatakan tidak berwenang mengadili perkara itu, karena membubarkan partai adalah “beleid” atau kebijakan eksekutif yang tidak dapat dinilai oleh badan yudikatif.
Kalau Presiden bisa membubarkan ormas melalui Keppres, maka sebagai sebuah penetapan (beschikking) kewenangan mengadili keputusannya ada di pengadilan tata usaha negara.
“Di era Presiden Joko Widodo ini alangkah banyaknya putusan tata usaha negara yang berkaitan dengan politik yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah, bahkan yang paling depan tidak mau melaksanakannya adalah Menteri Hukum dan HAM,” ujar Yusril.
Ia juga mengatakan keinginan agar Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis adalah keinginan sejak lama, yang diperkuat kembali menjelang Reformasi 1998.
“Kalau kita membuka peluang kembali bagi kesewenang-wenangan, maka demokrasi dan konstitusipun akan kembali terkubur. Di atas kuburan itu berdiri tegaklah seonggok batu nisan, yakni batu nisan kediktatoran. Ini yang harus kita cegah agar tidak terulang kembali di negeri ini,” ujar Yusril.
Menyadari bahwa Pemerintah tidaklah mudah membubarkan ormas, maka Jaksa Agung menyarankan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Maksudnya kiranya jelas, Perppu bukan diterbitkan untuk membubarkan ormas HTI, tetapi untuk mengubah UU No 17 Tahun 2003 agar memberi kewenangan kepada Presiden membubarkan ormas tanpa perlu meminta persetujuan pengadilan, persis yang disarankan Prof Jimly.
Yusril merasa makin prihatin menyaksikan perjalanan bangsa dan negara ini lebih dua tahun terakhir ini. Arah penegakan hukum makin hari makin tidak jelas. Terlalu banyak pertimbangan di luar hukum yang dijadikan dasar untuk menegakkan hukum, sehingga tebang pilih penegakan hukum yang dulu banyak dikritik di era pemerintahan Presiden SBY, kini malah dipraktekkan secara makin meluas.
“Ujung dari semua ini adalah makin meluasnya rasa ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya ini dijadikan sebagai lampu kuning bagi Pemerintah Presiden Joko Widodo,” pungkasnya.
loading...
loading...