"Ahok Sudah Tamat!"




Tb. Ardi Januar
Analis Media

JUMAT siang lalu-lintas di kawasan Medan Merdeka berubah menjadi lautan manusia. Ratusan ribu orang turun ke jalan mengecam Basuki Tjahaja Purnama yang dinilai telah menistakan satu agama. Ribuan aparat tak kalah bersiaga dengan perlengkapan senjata. Namun tetap saja tak sebanding dengan jumlah massa.

Selain jumlah massa, yang membuat aksi menjadi luar biasa karena mereka datang dari kalangan yang berbeda-beda. Tak hanya ulama dan orang tua tapi juga ada kalangan profesional muda. Tak hanya orang Islam tetapi juga pemeluk Kristen dan Budha. Tak hanya orang Jakarta tetapi juga dari Sunda, Jawa bahkan keturunan Tionghoa.

Aksi mengecam Ahok tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi menjalar ke seluruh pelosok nusantara. Aceh, Medan, Palembang, Bandung, Solo, Yogya dan Surabaya menjadi saksi amarah warga. Ternyata Ahok tidak hanya ditolak warga Jakarta, tetapi juga dikecam rakyat Indonesia. Fenomena ini seakan memberi tanda, karir politik Ahok tengah dalam bahaya.

Aksi demonstrasi tadi membawa angin segar. Kabareskrim Komjen Ari Dono berikrar akan memeriksa Ahok sekaligus mencecar. Polisi sadar bila tuntutan diabaikan aksi akan semakin besar dan kian melebar. Tinggal kita menanti dengan sabar.

Kasus ini menjadi PR berat bagi polisi. Orang sekaliber Ahok tak mudah dieksekusi, namun rakyat juga sulit untuk dibohongi. Bila dilanjutkan barangkali sarat akan intervensi, namun bila dihiraukan potret kehidupan terancam mengalami turbulensi, bahkan bisa berujung revolusi. Tapi kita harus percaya kepada polisi. Mereka tak mungkin bekerja setengah hati, terlebih ucapan Basuki sudah menjadi barang bukti.

Tidak mungkin rasanya status Ahok hanya sebatas saksi. Sebab kasus semacam ini memiliki banyak yurisprudensi. Seniman Arswendo Atmowiloto pernah merasakan jeruji besi karena dianggap menghina Nabi. Seorang ibu bernama Rusgiani juga harus masuk bui karena menyinggung perasaan warga Bali. Belum lagi kasus kemarin sore yang menimpa mahasiswa UI. Meski sudah meminta maaf karena mengkritik Basuki, dia tetap diberikan sanksi.

Partai pengusung Ahok juga tengah memutar kepala. Mereka bingung bagaimana agar kondisi mereda. Maksud hati mendukung Ahok dapat mendongkrak citra, apa daya yang didapat malah bencana dan cerca. Bencana karena mulut tak dijaga. Rasanya sangat mungkin bila mereka mencabut dukungan dari Sang Petahana. Karena mereka tak ingin citra ini berdampak sistemik di pilkada lainnya. Kecuali mereka siap kehilangan muka di pemilu selanjutnya.

Kasus Ahok harus menjadi pelajaran bagi para pemimpin termasuk kita semua. Bahwa lidah tak bertulang dan amat bahaya. Salah ucap meski satu kata bisa fatal akibatnya, terlebih bila keluar dari mulut penguasa. Pelajaran lainnya, janganlah dalam berpolitik menyinggung SARA. Sebab kita sudah ditakdirkan hidup berbeda.

Sikap saling menghormati menjadi ajaran semua agama. Jiwa toleransi juga diajarkan dalam Pancasila. Menjadi pihak mayoritas bukan berarti dapat bersikap seenaknya. Menjadi kalangan minoritas jangan dipolitisir pula untuk mendulang citra dan suara. Mari bersama kita jaga dan pelihara Indonesia. Pelihara keberagamannya, pelihara kerukunannya, dan pelihara kedamaiannya.

*Jangan coba-coba menafsirkan tulisan saya, karena yang bisa menafsirkan ya hanya saya.[***] (rmol)
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...