Tommy Soeharto: Di Myanmar Sedang Terjadi Depopulasi Umat Muslim
Kekejian yang dialami etnis Rohingya di Myanmar memicu reaksi hebat dari masyarakat dunia. Di Indonesia, kecaman keras juga bermunculan dari berbagai pihak. Bahkan sejumlah tokoh nasional tidak hanya mengutuk, tapi meminta pemerintah Indonesia segera memutus hubungan diplomatik dan mengusir Dubes Myanmar dari Indonesia.
Reaksi keras juga datang dari putra kedua Presiden ke-2 RI, Soeharto, yakni Hutomo Mandala Putra. Menurut pria yang akrab disapa Tommy Soeharto ini, apa yang terjadi di Myanmar hari ini sesungguhnya bukan baru pertama kali, tapi sudah berkali-kali terjadi dalam dua abad terakhir.
"Namun tidak ada upaya sama sekali dari pemerintah Myanmar untuk menghentikan konflik itu," kata Tommy dalam keterangan pers yang diterima redaksi.
Padahal, tambahnya, konflik tersebut bisa diakhiri kalau pemerintah Myanmar mengajarkan atau mendidik warganya tentang indahnya keberagaman, toleransi antar umat beragama, dan kerjasama dalam persatuan negara.
Dari tinjauan sejarah, ujar Tommy, Provinsi Rakhine sebenarnya bagian dari Kerajaan Arakan sejak tahun 1400-an. Dan muslim Rohingya sudah menetap di sana dan tercatat sebagai bagian pemerintahan dan militer kerajaan yang dipimpin oleh Raja Narameikhla (Min Saw Mun). Namun tahun 1785, Kerajaan Buddha Burma di Selatan menjajah sebagian wilayah kerajaan Arakan yang menyebabkan lebih separuh Muslim Rohingya tereksekusi dan melarikan diri ke Bengal.
Tommy melanjutkan penjelasannya. Tahun 1826, tatkala Inggris menjajah Kerajaan Arakan dari arah Barat untuk berperang menghadapi kerajaan Burma, mereka membawa kembali muslim Rohingya di Bengal ke daerah Arakan yang menjadi Rakhine sekarang. Inilah yang membuat panas suhu politik di wilayah itu hingga menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan antara Muslim Rohingya dan Buddha Rakhine.
Pasca Perang Dunia II, konflik antara Rohingya dengan Rakhine (Buddist Myanmar) pecah kembali. Alasan pecahnya perang antara Rohingya dan Rakhine ini karena pasca kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948 orang-orang Rohingya yang sudah turun termurun disana meminta hak mereka sebagai warga negara Myanmar. Namun hal tersebut tidak dikabulkan karena Rakhine menganggap mereka sebagai etnis yang berbeda, yakni orang-orang Bengali (Bangladesh), sedangkan Rohingya menganggap diri mereka adalah bagian dari Myanmar. Rasisme dan diskriminasi ini menyulut keinginan Rohingya untuk berpisah dari Myanmar dan mendirikan negara sendiri. Namun pemerintah Myanmar atas nama kesatuan negara tidak ingin sebagian provinsi Rakhine berpisah.
Persoalan semakin rumit ketika muncul Gerakan 969 yang diprakarsai oleh Biksu Ashin Wirathu. Gerakan yang mengambil nama dari simbol angka kesucian dalam ajaran Buddha dan merupakan gerakan yang memarjinalkan suku agama tertentu di Myanmar, yang tujuannya membesarkan pengaruh dan dominasi umat Buddha di Myanmar. Ashin bahkan sempat mengatakan bahwa ia takut jika Myanmar bakal seperti Indonesia yang di masa lalunya didominasi umat Hindu dan Buddha, namun di akhir abad 16 sudah berganti didominasi oleh Islam. Tindakan ini semakin massif saat tersiar kabar bahwa pemerintah pusat Myanmar turut mendukung gerakan ini.
Dengan latar belakang sejarah yang demikian, tambah Tommy, tak bisa dipungkiri bahwa tragedi pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya berakar dari kebencian etnis mayoritas di sana terhadap minoritas Rohingya. Fakta bahwa warga muslim Rohingya di Provinsi Rakhine memiliki taraf kehidupan ekonomi yang sedikit lebih baik dari umat Buddha Rakhine, juga menjadi pemantik munculnya kecemburuan sosial yang berujung pada konflik.
"Kebencian etnis yang mengakar bercampur dengan kecemburuan sosial ini sebenarnya sudah bisa dideteksi oleh pemerintah Myanmar. Tapi itulah yang tidak dilakukan. Bisa dikatakan, hampir di setiap wilayah Myanmar sekarang ini, sedang terjadi depopulasi umat muslim," ujar Tommy Soeharto. [rmol]
loading...
loading...