Demo Muslim Chechnya Bela Rohingya Dipimpin Langsung Presiden
Kemarahan umat Muslim di seluruh dunia menyusul persekusi terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, kian memuncak. Berbagai kalangan menilai, sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, sikap politik Indonesia yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tergolong lunak. Seharusnya, Jokowi bisa bersikap lebih tegas dan keras seperti yang dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadirov. Kedua pemimpin ini mengecam keras aksi kekerasan atau pembantaian tersebut.
Sikap politik Jokowi tersebut, mendapat kritik dari pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap. Menurutnya, sikap tersebut sangat berbeda dengan sikap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai tokoh global. Juga Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadirov. Kedua pemimpin ini mengecam keras aksi kekerasan atau pembantaian terhadap warga Muslim Rohingya tersebut.
"Sebagai negara berpenduduk mayoritas umat Islam, Presiden Jokowi seharusnya mempertimbangkan sikap dan tuntutan rakyat Indonesia. Jokowi harus mampu bersikap minimal seperti Presiden Turki. Apalagi mengingat Myanmar dan Indonesia adalah anggota organisasi regional ASEAN," kata Muchtar kepada Harian Terbit di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Menurutnya, di Chechnya dan Malaysia perilaku politik aktor individual juga ditunjukan dengan terjun langsung mengkordinir aksi demo massal. "Di negeri ini karena kultur politik mereka tidak feodalis dan tidak buat jarak dengan massa rakyat," ujar Muchtar.
Di Indonesia, sambung Muchtar, masih berkultur feodalis dan elitis. Sehingga pernyatannya terkait kekerasan etnis Rohingya juga tidak tegas. Karena selama ini Jokowi hanya menugaskan Menlu Retno untuk mengatasinya. Akibatnya yang dilakukan Menlu tidak efektif.
"Tak usah bereaksi secara fisik, secara vokal juga tidak memberikan pernyataan tegas dan keras. Karena urusan kemanusiaan puluhan ribu umat manusia yang mengundang keperihatinan dan kecaman, cukup ditangani seorang Menlu dengan bentuk kunjungan dan himbauan semata kepada Rezim Fasis Myanmar. Tentu saja tanpa hasil solutif berarti, kecuali sekedar "pencitraan" oleh media massa internasional," paparnya.
Menurut Muchtar ada beberapa langkah yang seharusnya diambil oleh Jokowi, antara lain harus memberi pernyataan 'mengutuk' aksi kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar, bukan sekadar mengutus Menlu Retno ke Myanmar tanpa agenda politik yang jelas dan tegas. Harus Jokowi langsung sebagai aktor yang menekan Pemerintah Myanmar seperti sikap Presiden Turki.
“Jokowi harus menggalang pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk memberikan tekanan politik ekonomi atau sanksi diplomatik terhadap Pemerintah Myanmar. Kalau perlu Jokowi menuntut agar Myanmar atas kepentingan ASEAN sendiri dikeluarkan sebagai anggota," tandas Muchtar.
Hanya Diplomasi
Sementara itu peneliti Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin mengatakan, Presiden Jokowi sangat lamban dalam mengatasi kekerasan yang dialami etnis Rohingya. Karena saat ini Jokowi hanya mengandalkan diplomasi dengan mengutus Menlu Retno guna membujuk pemimpin Myanmar agar menghentikan penindasan dan membuka akses bagi bantuan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya.
"Cara-cara itu tidak efektif untuk membantu secara cepat etnis Rohingya," kata Aminudin kepada Harian Terbit di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Tidak efektif, sambung Aminudin, karena cara seperti itu sudah dilakukan dua kali oleh Retno namun tidak ada hasilnya. Oleh karena itu hanya ada dua hal yang bisa menghentikan kebiadaban rezim Myanmar; yakni ancaman diseret ke Mahkamah Internasional seperti Slobodan Millosovic. Kedua, mengikuti seruan Paus Fransiscus untuk mempersenjatai etnis Rohingya sebagai sarana Defends Right (pertahanan diri).
"Sebagai bentuk solidaritas maka sebaiknya Presiden Jokowi untuk turun secara langsung mengatasi problem kemanusiaan di Rohingya. Jokowi bisa melakukan upaya baik melalui PBB atau ASEAN untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan ini," paparnya.
Untuk menekan Myanmar, Jokowi juga bisa membawa perbuatan kejahatan kemanusiaan atau genosida ke Peradilan Pidana Internasional atau Internasional Criminal Court atau ICC. Selain itu cabut juga pemberian Nobel dari Aung Saan Su Kyi.
"Jokowi juga bisa meminta Interpol menerbitkan red notice penangkapan kepada pemimpin Myanmar yang terlibat pembantantain etnis Rohingya," tegasnya.
Bukan Menyudutkan
Sementara itu, Ketua Umum DPP Badan Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubi) Prof Dr Dedy Ismatullah, SH, MH mengatakan, jika ada yang menyatakan krisis etnis Rohingya sebagai politik untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi maka hal tersebut tidak tepat. Kekerasan yang dialami etnis Rohingya jangan dipelintir kemana-mana dengan menyatakan untuk menyudutkan pemerintahan Jokowi.
"Tidak ada itu (menjatuhkan Jokowi). Karena Presiden sudah bersikap dengan memerintahkan Menlu Retno untuk datang ke Myanmar. Jadi jangan dipolitisir. Karena ini masalah kekejaman yang dilakukan oleh para biksu terhadap etnis Rohingya. Kita harus apresiasi Jokowi dibanding pemerintahan lainnya," ujarnya kepada Harian Terbit.
Dedy menilai, kekerasan yang dialami etnis Rohingya merupakan kejahatan luar biasa yang menghancurkan peradaban yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjaga perdamaian. Oleh karena itu pihak - pihak yang mendiamkan kekejaman atas etnis Rohingya harus bertanggungjawab seperti Aung Saan Su Kyi.
Padahal Aung Saan Su Kyi telah mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. "Cabut Nobel dari Aung Saya Su Kyi. Tidak sah mendapatkan Nobel dengan mendiamkan kekerasan yang dialami etnis Rohingya," paparnya.
Gejolak Dunia
Untuk diketahui, seperti dilansir AP dan The New York Times, Selasa (5/9/2017), sejumlah unjuk rasa umat Muslim terjadi di berbagai negara di Asia, Australia dan Rusia atas operasi militer terakhir Myanmar yang telah menewaskan lebih dari 400 orang dan memaksa sedikitnya 90 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Para demonstran terutama menyayangkan sikap diam pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, atas persekusi terhadap Rohingya. Tak sedikit peserta aksi maupun petisi online yang mendesak Komite Nobel untuk mencabut Nobel Perdamaian Suu Kyi.
Di Chechnya, puluhan ribu warga berunjuk rasa di jalanan mengutuk genosida yang dilakukan pemerintah Myanmar. Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov, juga mengkritik pemerintah Rusia yang diam melihat kondisi yang menurutnya mirip Holocaust pada Perang Dunia II.
"Jika Rusia mendukung rezim setan ini, maka saya akan melawan Moskow," kata dia dalam sebuah video yang diunggah sebelum unjuk rasa.
Di Canberra, sekitar 300 pengunjuk rasa dari komunitas Rohingya Myanmar berkumpul di luar gedung Parlemen Australia seraya mendesak pemerintah melakukan intervensi guna mencegah kekerasan terhadap minoritas muslim Myanmar.
Juru bicara demonstran, Ahsan Haque menuding pemerintah Myanmar sedang melakukan pembersihkan etnis dan memberantas seluruh etnis Rohingya. Mereka mendesak pemerintah Australia pemerintah Myanmar mengakhiri persekusi atau penarikan bantuan Australia ke negeri itu. Namun sayang, desakan yang disampaikan di depan gedung parlemen tersebut tidak segera mendapatkan respon pemerintah Australia.
Selain di Negeri Kanguru, unjuk rasa menentang persekusi terhadap warga minoritas Rohingya juga terjadi di Indonesia. Ratusan perempuan muslim berdemonstrasi di luar gedung kedutaan besar Myanmar di Jakarta sambil membakar foto Suu Kyi.
Aksi ini dikawal ketat oleh puluhan polisi bersenjata dengan memasang kawat berduri setelah terjadi lemparan bom molotov ke kedua pada Minggu, (8/8/2017) "Dunia diam menghadapi pembantaian warga Muslim Rohingya," ujar Farida, salah satu demonstran di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, warga Rohingya adalah pendatang dari Bangladesh, yang terletak di sebelah utara Myanmar. Mereka yang sudah hadir di tanah Myanmar sejak ratusan tahun lalu itu, saat ini tidak dianggap keberadaannya oleh pemerintah Myanmar.
Konflik akhirnya terjadi antara etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar, termasuk dengan pribumi Myanmar yang mayoritasnya beragama Buddha.
loading...
loading...