Wartawan Senior: Hoax Akar Rumput, Reaksi Terhadap Hoax Penguasa



Bebarapa hari lalu, dalam siaran langsung ILC TVOne, seluruh dunia disadarkan oleh rumus baru IQ (intelligence quotient) alias ukuran kecerdasan seseorang. Rumus baru itu diteorikan oleh Profesor Rocky Gerung, dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia.

Ketika menutup komentarnya tentang fenomena berita hoax, dalam acara ILC yang membahas “Saracen”, Gerung mengatakan kalau penguasa mau memberantas penyebaran hoax, maka “Naikkan IQ Anda, hoax akan turun.”

Prof Gerung memang benar seratus persen. Teori yang sangat masuk akal.

Kutipan Gerung ini menjadi trending di medsos. Sekaligus menjadi sindiran tajam untuk semua orang. Sindiran bagi penyebar hoax; maupun penyebar hoax untuk melawan hoax. Sindiran bagi penguasa, bagi Presiden juga, yang belum lama ini mengumpulkan para buzzer politik (menurut istilah Fadli Zon, wakil ketua DPR) di Istana. Mudah-mudahan saja para buzzer itu orang baik semua. Tetapi, bisa jadi diantara mereka itu ada yang berprofesi sebagai pembuat dan penyebar hoax.

Orang yang mengandalkan hoax sebagai alat perjuangannya, bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan yang mencukupi untuk membangun gagasan yang bisa meyakinkan orang banyak terhadap konsep yang ia tawarkan.

Nah, apa yang dimaksud dengan konsep yang bisa ditawarkan? Yaitu, konsep untuk membuat orang lain bisa menerima konsep Anda. Semua konsep, konsep apa saja. Termasuk konsep tentang konsep.

Bisa kosnep hidup, konsep industri, konsep perkawinan, konsep hemat energi, konsep perumahan, dlsb. Kapitalisme adalah konsep. Begitu juga sosialisme. Anda bisa membuat konsep tentang kapitalisme sesuai keinginan Anda. Atau, konsep sosialisme sesuai nurani Anda. Jadi, konsep itu sangat luas, dan sangat liar. Konsep yang liar adalah konsep yang tidak dibangun dengan nalar yang jinak.

Nalar yang jinak adalah sebuah konsep yang tidak akan pernah cocok dengan pikiran yang liar. Tetapi, pikiran yang liar bisa membangun konsep yang jinak. Dengan syarat, pikiran yang liar itu telah mengalami proses pembentukan konsep yang jinak. Tetapi, itu belum berhenti sampai di sini. Sebab, konsep yang jinak bisa dipelintir oleh pihak yang berkuasa menjadi konsep yang liar. Walhasil, konsep yang liar dan konsep yang jinak, sama saja. Sama-sama bisa dipelintir.

Mulai pusing? Merasa kurang jelas? Berbelit-belit?

Pastilah! Karena tiga alinea di atas memang tidak ada isinya. Sepintas lalu, ketiga paragraf ini seolah mewakili buah pikiran yang hebat. Padahal, mewakili kekacauan. Tetapi terasa hebat dan berbobot karena masih bisa dibaca walau tidak bisa dipahami. Ketiga alinea di atas hanya benar dari sisi ketatabahasaan, sedangkan kontennya tidak ada. Gagasannya kosong.

Itulah Indonesia sekarang. Dan, inilah test IQ kita. Indonesia itu selalu memusingkan, selalu tidak jelas, dan suka berbelit-belit.

Baik, sekarang kita kembali serius. Mengapa kita gagal menyajikan pikiran yang sederhana? Karena kita punya tradisi untuk merumit-rumitkan masalah. Sekarang, tradisi itu dilembagakan oleh penguasa. Mengapa mereka melembagakan kerumitan? Karena banyak sekali hal-ihwal dan tindak-tanduk atau kebijakan yang harus diselubungi, yang harus disembunyikan. Ditutup-tutupi.

Penguasa harus menyembunyikan statistik buruk. Harus menyembunyikan segala macam impor barang yang seharusnya tidak diimpor. Harus menutupi intimidasi asing, khususnya RRC, yang memaksakan syarat yang merugikan Indonesia ketika mereka berinvetasi di sini.

Harus pula menyembunyikan jalannya perundingan dengan Freeport. Tahu-tahu saja tercapai kesepakatan divestasi 51% saham. Detail divestasinya tidak jelas, termasuk kapan mau dimulai dan kapan selesainya. Siapa yang akan membeli, juga belum tahu pasti. Ini semua sedapat mungkin harus disembunyikan, atau setidaknya disamarkan.

Penguasa juga harus menyembunyikan janji-janji yang tidak bisa terpenuhi. Harus pula menutupi kenaikan tarif listrik dan kenaikan harga-harga lainnya. Juga, kalau bisa, menyembunyikan hutang luar negeri.

Proses penyembunyian hal-ihwal dan tindak-tanduk itulah yang selama ini menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran kita. Penyelubungan masalah yang esensial pasti mengundang komentar. Sebab, penyelubungan (penyembunyian) adalah bahasa lain dari penipuan.

Tentu tidak banyak, atau hampir tidak ada, orang yang rela ditipu. Karena tidak rela ditipu, maka bangkitlah kritikan yang kemudian berubah menjadi perlawanan. Dalam rangka melancarkan perlawanan terhadap penipuan yang terlembagakan inilah, akhirnya banyak orang yang terjebak meggunakan hoax.

Setelah terjebak hoax, penguasa menuduh rakyat sebagai penebar hoax. Padahal, hoax yang datang dari akar rumput (grass root) adalah reaksi terhadap hoax yang bersumber dari penguasa. (*)

*Penulis adalah wartawan senior

sumber: swamedium
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...