Soal Meikarta, Joni: Tak Boleh Jalan Sendiri, Pemerintah Harus Desak Ada Public and Privat Partnership
Catatan Hukum Bang Joni – KOTA BARU “TAK BERTUAN” MILIK SIAPA? – Bagian 2 | Muhammad Joni, S.H., M.H, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), General Secretary, Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.
“Lewat konsep public and privat partnership, mestinya Pemerintah dan Pemda berperan membuat regulasi, dan menegosiasikan konsep rancangan, model bisnis dan korporatisasi pembangunan kota-kota baru berbasis komunitas. Agar terintegrasi kepentingan publik, mendesakkan pemasukan devisa pemerintah, dan pro kepentingan warga masyarakat lokal pemilik asal tanah” – Muhammad Joni
Baca tulisan sebelumnya : Kota Baru Meikarta, Joni : Tidak Ada Sejengkal Wilayah-pun Boleh Luput dari Penguasaan Pemerintah..!
Kota baru mandiri membutuhkan ijin-ijin dari Pemerintah/Pemda, itu soal mustahak. Namun, kehadiran Pemerinah/Pemda tidak berakhir dengan hanya menerbitkan ijin-ijin, seperti membangun properti atau realestate lainnya. Mengapa? Karena ada anasir publik dalam suatau kota. Ada anasir tanah dalam membangun kota, dimana tanah mempunyai fungsi sosial.
Kota baru mandiri yang dibangun pengembang swasta, yang terdiri atas ragam benda properti dan produk realestate lain, apakah perlakuannya hanya dalam lingkup relasi perdata saja? Akankah pemasaran dan penjualan properti, apakah itu rumah tapak (landed house), apartemen dan gedung perkantoran vertikal menjulang, commercial bussines district (CBD) dan varian lain, hanya dianggap relasi perdata biasa. Hanya konsensualitas pengembang dengan pembeli.
Tentu saja tidak. Jika posisi strategis tanah, air dan ruang angkasa, dalam takrif UUPA masih dianut, dimana ada fungsi sosial di dalamnya, maka kepentingan publik dan perlindungan publik musti menjadi anasir penting. Artinya, tugas dan kehadiran Pemerintah dan Pemda tak hanya sekadar memeriksa, menilai dan meloloskan serta mengontrol ijin-ijin yang diberikan membangun kota baru.
Maksudnya? Pemerintah musti memastikan kepentingan publik dan fungsi sosial kota baru dibawah tanggungjawab Pemerintah dan/atau Pemda. Kepentingan publik, termasuk kepentingan masyarakat atau komunitas tempat berada dan sekitar tanah hendak dibangun kota baru.
Acapkali, pembangunan kota baru yang mengubah bentang alam menjadi molek sehingga seakan kota dibangun hanya pemolekan, penyamanan, dan pemoderenan kawasan dengan label semisal green city ataupun beautifull metropolitan city, namun abai dengan jurus membangun kota baru yang inheren meningkatkan kesejahteraan komunitas pemilik asal tanah, sebut saja misalnya empowerment city. Justru yang acapkali terjadi adalah penyingkiran struktural warga setempat pemilik asal tanah dengan serbuan warga penghuni baru akibat pembangunan kota baru mandiri sebagai picunya. Lihatlah fenomena “kampung terjepit” yang masih berhampiran dengan kawasan perumahan skala besar dan kota baru.
Siapakah warga baru penghuni kota baru? Mari periksa. Kuat dugaan, penghuni baru kota baru itu aselinya hanya konsumen, baik personal yang memang mencari hunian, maupun korporasi yang membutuhkan tempat usaha dan perniagaan atau lokus industrinya. Atau paling-paling investor atau spekulan yang “beternak” properti dengan harapan menangguk eskalasi harga properti pasar sekunder.
Lantas, adakah konsep, skim dan model bisnis agar warga masyarakat lokal pemilik asal tanah, pun demikian warga asli selingkar wilayah formal kota baru itu ikut menjadi “pemilik” korporatisasi kota baru mandiri? Bisakah warga pemilik tanah asal menjadi co-owner pembangunan dan pengusahaan kota baru mandiri? Misalnya dengan jurus share values pengusahaan, dengan memasukkan tanah dan ekosistem lokal sebagai penyertaannya.
Tersebab itu, patut Pemerintah dan Pemda membuat regulasi yang membangun model bisnis yang pro warga masyarakat lokal sekitar kota baru dan pemilik asal turut menjadi bagian dari korporatisasi kota-kota baru. Menjadi pemilik saham atas pengembang kota-kota baru, menjadi co-developer.
Tak hanya warga masyarakat pemilik asal dan warga sekitar, kesempatan co-developer alias co-ownership seperti itu secara hukum bisa dirancang sedemikian rupa untuk dimiliki Pemerintah/Pemda yang diwakili BUMN/BUMD. Jurus Creating Shared Value (CSV) yang dikembangkan Harvard University kiranya bisa diaplikasikan ke dalam model bisnis pembangun kota-kota baru yang berbasis komunitas, dengan disain co-developer dan co-ownership. Kota-kota baru tak hanya bergenre pemolekan seperti label green city, smart city, liveble city, beutifull metroplitan city, namun juga menjadi people growth city, empowerment city, bahkan happiness city.
Pada titik itu, Pemerintah dan Pemda berperan membuat regulasi, dan menegosiasikan konsep rancangan, model bisnis dan korporatisasi pembangunan kota-kota baru berbasis komunitas. Juga mengintegrasikan kepentingan publik, mendesakkan pemasukan devisa pemerintah, dan pro kepentingan warga masyarakat lokal pemilik asal tanah. Kalau sekarang dikenali konsep Public and Privat Partnership (PPP), maka dengan anasir kemitraan rakyat (peoples) menjadikan PPP itu semakin sempurna.
Periksalah dokumen universal yang diikuti bangsa-bangsa beradab semisal Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadikan “sustainable cities and communities” (SC&C) sebagai kesatuan tak terpisahkan. Target SC&C itu menjadi faktor kohesi dan tak saling menyisihkan, apalagi “konflik” antara cities dengan communities. Instrumen ini relevan dengan genre kota baru berlabelkan happiness city.
Eureka, pembangunan kota-kota baru tidak hanya dimensi perubahan bentang kawasan menjadi kenyaman baru, namun jurus baru pemerataan kesejahteraan ekonomi. Bahkan kebahagian bersama di atas bumi yang sama.
Tersebab itu, filosofi fungsi sosial tanah dan kredo tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak lagi hanya asesoris, dengan menyediakan bangunan rumah ibadah, sekolah ataupun taman publik, namun mengintegrasikan modal usaha pengembang, modal tanah rakyat, dengan modal otoritas dan ijin-ijin Pemerintah/Pemda untuk kepentingan bersama yang berkeadilan bagi 3 pilar: swasta, pemerintah/pemda, warga/rakyat.
Dengan demikian, takrif usang fungsi sosial tanah dan relasi searah pemberian ijin-ijin dari Pemerintah musti dioptimalkan dengan redefenisi fungsi sosial tanah dan revitalisasi norma “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
loading...
loading...