Rencana Novanto Bacakan Teks Proklamasi Tuai Kritikan



Teks Proklamasi di atas secarik kertas lusuh yang dibacakan Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur adalah penanda bagi lahirnya Negara Indonesia. Pembacaan naskah Proklamasi saat itu juga menandai berakhirnya masa penjajahan dalam kurun waktu 350 tahun.

Isinya ringkas, padat dan sarat makna. Pembacaaan teks Proklamasi kemerdekaan dalam suasana sederhana saat itu merupakan titik puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Suasana kebangsaan dan kebersamaan begitu kental saat itu. Soekarno bahkan enggan membacakannya tanpa didampingi Hatta. 

Luapan kegembiraan akhirnya pecah di seluruh pelosok Tanah Air bercampur dengan lagu Indonesia Raya. Naskah proklamasi yang dibacakan saat itu membangkitkan gairah kebangsaan sekaligus menjadi sertefikat kelahiran bagi Negara Indonesia.


Sorotan dan komentar tajam akan kembali menghujam ketua DPR RI itu bila tetap memaksakan diri membacakan teks Proklamasi. Sebelumnya, netizen melontarkan komentar nyinyir dan mengungkapkan keprihatinannya karena rapat pengesahan RUU Pemilu dipimpin oleh Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto yang saat ini menyandang status tersangka mega korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).

Komentar pengamat

Rencana tersangka kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, membacakan teks Proklamasi dinilai akan menodai sakralitas peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia ke-72 di Istana Mereka.

Sejarahwan JJ Rizal menilai seumpama Setya Novanto benar-benar membacakan teks Proklamasi, ini adalah penghinaan kepada bangsa. “Penghinaan banget,” katanya, Kamis (3/8/17)

Proklamasi adalah semacam “sertifikat” bagi kelahiran bangsa Indonesia, sedangkan Pancasila adalah lambang negara. Keduanya bagi bangsa Indonesia adalah teks sakral. Oleh karena itu, hanya orang terhormat yang pantas membacakannya, bukan mereka yang terlibat kasus korupsi yang dapat merongrong negara.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta menilai bahwa secara hukum memang sah. Akan tetapi, secara moral, status tersangka maling uang negara membuatnya cacat.

“Benar bahwa Setya Novanto secara de jure masih sebagai ketua DPR dan karenanya berhak untuk menjadi pembaca proklamasi dalam peringatan hari kemerdekaan RI, tetapi status tersangkanya yang masih melekat telah menodai kesakralan hari Proklamasi,” kata pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, Ubaidullah Badrun kepada Rimanews, Jumat (4/8/17).

Karena status yang memalukan tersebut, Novanto seharusnya sadar diri dan mengajukan cuti supaya terhindar dar tugas membaca teks sakral tersebut.

“Secara etika politik dan adab kebangsaan kita itu tidak dapat diterima,” katanya.

Oleh karena itu, dia menyarankan supaya tugas mulia tersebut didelegasikan kepada yang lain. Ubaidillah menyarankan Novanto untuk mengutus wakil ketua DPR RI, Menkopolkam atau Menteri Dalam Negeri.

Jika Novanto dibiarkan tampil di publik dengan membaca teks yang dibuat Bung Karno tersebut, negara sudah melupakan adab kebangsaan.

“Wah, jika itu terjadi, ini negara tidak punya adab kebangsaan,” ujar Ubaidillah.

Menurut Ubaidillah, hari Proklamasi merupakan hari suci bagi sebuah negara karena menandai perubahan status terjajah menjadi merdeka.

“Oleh karena itu, peringatan proklamasi seharusnya tidak dinodai oleh pembaca yang berstatus tersangka,” tegasnya.
Kepastian kehadiran Novanto dalam HUT RI ke-72 datang dari Sekretaris Jenderal DPR RI, Ahmad Junet.

"Beliau hadir dan tak perlu mengajukan cuti saat 17 Agustus," kata Ahmad Junet ditemui Rimanews di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (3/8/17).


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...