KPK Diminta Mengusut, Diduga Triliunan Dana CSR Zaman Ahok Tak Jelas Mengalir Kemana


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk mengusut dana pertanggung jawaban sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) di era masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Diperkirakan, masih triliunan rupiah dana dari pihak swasta itu tidak jelas penggunaannya. DPR DKI juga diminta tidak tinggal diam, harus menggunakan hak bertanya.

Koordinator Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, mengatakan saat ini belum ada aturan yang jelas soal penggunaan dana CSR di Pemprov DKI Jakarta.

"Seharusnya ada aturan yang jelas. Sebab akhirnya proyek-proyek pembangunan dengan dana CSR ini diserahkan ke Pemprov DKI," kata Febri saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/8/2017).

Tanpa adanya aturan yang jelas, lanjut Febri, dalam penggunaan itu, membuat celah korupsi sangat besar. Terlebih selama ini audit tentang penerimaan dan pengeluaran tak terlihat. Melihat hal ini, Febri mendesak agar Inspektorat Pemprov DKI Jakarta untuk turun tangan. "Pengawasan yang benar harus dilakukan mengecek soal dana CSR," tutur Febri.

DPR Jangan Diam

Sementara itu pengamat Kebijakan Publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah, mengungkapkan,‎ masyarakat wajib tahu penggunaan dana CSR. Mengingat, sejauh ini tidak pernah dicatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI.

Dia menjelaskan, jika tidak tercatat dalam APBD maka akan sulit untuk diaudit. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga akan menemui hambatan dalam memeriksa anggaran tersebut.

"Kalau sudah begini kami menyarankan aparat penegak hukum KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian lah yang harus turun tangan," ujar Amir di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017).

Ia mendesak agar DPRD DKI Jakarta juga tidak tinggal diam. Pihak DPRD DKI, kata dia, harus menggunakan hak bertanya dengan memanggil pihak- pihak terkait. "Semua pihak berkepentingan untuk menjadikan pengelolaan keuangan DKI yang bersih dan transparansi," tegasnya.

Terpisah, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga melihat, dalam membangun Jakarta, Ahok kerap bersikeras menggunakan dana pengembang untuk melakukan pembangunan fisik yang dampaknya untuk masyarakat. Namun menurutnya, penggunaan dana CSR tidak membuat pembangunan itu berkelanjutan.

"Pembangunan pakai dana pengembang membuat SKPD makan gaji buta. Banyak SKPD yang mengeluh ke saya, ngapain lagi kita kerja kalau semua udah dikerjain swasta," ujarnya.

‎ Ia mencontohkan, misalnya saja penataan waduk pluit. "Termasuk dengan pembangunan Ruang Publik Terbuka Rumah Anak (RPTRA) yang kini akhirnya banyak yang tidak berfungsi seperti tujuan awalnya," ungkap dia.

Kesalahan Prosedur

Sementara itu, DPRD DKI Jakarta mendesak Pemprov DKI mengaudit dana CSR yang diberikan pengembang kepada Pemprov DKI Jakarta. Mengingat dana tersebut digunakan untuk pembangunan sarana publik yang secara langsung menjadi aset pemerintah.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik, menyebut bahwa Ahok telah melakukan kesalahan prosedur dalam pengelolaan keuangan daerah.‎ Seharusnya, kata Taufik, penerimaan dari pihak swasta diserahkan ke Pemprov DKI dahulu dan dicatatkan dalam APBD.

"Padahal, Pasal 3 ayat (6) UU No.17/2003 (Keuangan Negara) jelas bunyinya, semua penerimaan yang menjadi kewajiban daerah tahun bersangkutan, harus dimasukkan APBD," ujarnya di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat. "Nah, ini yang diterima (dari swasta) tak masuk (APBD), yang keluar juga enggak masuk," ketus ketua DPD Gerindra DKI itu.

Anggota Komisi C DPRD DKI, Johnni Ventus Hutapea, mengaku sampai saat ini pihaknya belum pernah mendapatkan laporan dari Pemprov DKI Jakarta terkait aliran dana CSR yang diperoleh. Hal ini menurut politisi PDIP tersebut dana bantuan dari swasta itu rawan diselewengkan.

Karenanya, jika tidak ada laporan maupun pertanggung jawaban, Johnni mengaku khawatir dana CSR tersebut diselewengkan. "Permintaan CSR yang dilakukan pak Ahok tentunya melekat dengan jabatan beliau sebagai gubernur. Sehingga ada baiknya bila penggunaan dana ini ada laporan pertanggung jawabannya," ucapnya.

Segera Audit

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) didesak segera mengaudit kekacauan pengelolaan CSR serta dana kompensasi atas pelampauan nilai Koefisien Luas Bangunan (KLB) yang mencapai puluhan triliun rupiah di masa Gubernur Ahok.

Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), M Rico Sinaga mengatakan, setelah rampung diaudit BPK, maka langkah selanjutnya adalah KPK diminta untuk mengusut tuntas carut-marut pengelolaan CSR tersebut.

Rico menilai terdapat dua pejabat Pemprov DKI Jakarta yang paling bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan CSR dan KLB.

Kedua pejabat eselon II itu yakni, Kepala Badan Keuangan Daerah (sebelumnya Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) Heru Budi Hartono dan Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekda DKI, Gamal Sinurat.

"Dua pejabat ini selama DKI dipimpin Basuki mengalami proses karir luar biasa. Ibaratnya karir Heru dan Gamal seperti lompat indah. Dua pejabat ini sangat dipercaya Basuki," kata Rico di Jakarta,

Adapun Sejarawan JJ Rizal menyatakan, Jakarta tidak bisa dibangun hanya dengan mengandalkan dana CSR. Sejatinya, kata dia, pembangunan suatu daerah berasal dari APBD yang merupakan rencana tahunan keuangan daerah.

"Sebelumnya dikatakan, lebih baik uang rakyat enggak dipakai, dibanding dirampok. Enggak bisa begitu cara berpikirnya," katanya di Jakarta, Senin (21/8/2017).

Rizal menerangkan, penggunaan dana CSR juga tidak bisa sembarangan oleh pemerintah. Seharusnya, mengacu pada peraturan perundang-undangan tingkat nasional maupun internasional, sebagaimana diatur United Nations Human Settlements Programme (UN Habitat).

Terlebih, menerima anggaran dari perusahaan pelat hitam. Pengerusak lingkungan misalnya. "Kalau mau bangun Jakarta dengan CSR, jangan jadi gubernur. Tapi, konsorsium CSR Jakarta," cibirnya. 

[htc]
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...