Alhamdulillah, Hary Tanoe Tidak Lagi Abu-Abu
Yang paling repot bagi siapa saja adalah menghadapi warna abu-abu. Hitam bukan, putih pun tidak. Dalam semua urusan, kaum muslimin memerlukan kejelasan yang tuntas. Tidak ada yang syubhat. Jangan sampai ada situasi yang diwarnai keraguan.
Dalam kasus Hary Tanoesoesudibjo (HT), pergaulan beliau dengan kalangan muslim (sebut saja kalangan pesantren, khususnya kiyai-kiyai mereka) selama ini menumbuhkan kebimbangan, keraguan, dan tanda tanya. Sebab, perhatian dan sumbangan dana HT kepada kalangan pesantren memunculkan dua opini. Yang pertama, sebagian orang menganggapnya tidak apa-apa. Sepenuhnya tidak ada masalah. Mereka ini pragmatis. Tentu terserah mereka. Yang kedua, sebagian orang lainnya merasakan sesuatu yang tidak wajar mengingat HT adalah seseorang yang diketahui bukan muslim.
Kelompok pertama cenderung tidak peduli siapa dan apa latar belakang HT. Mereka pun tak menghiraukan apa tujuan HT melakukan gerakan “merapat” ke kaum muslimin. HT menyumbangkan dana, bagi mereka sangat diapresiasi. Seperti kata orang seberang, “tak kisah”apakah HT mengincar suara kaum muslimin untuk sukses parpolnya, Parindo, atau tidak. Apalagi HT pandai membuat penampilan yang islami ketika datang ke pesantren, seperti memakai baju koko, peci, dan menyandang sarung di pundak.
Kelompok kedua merasa was-was dan was-pada. Mereka berbisik-bisik tentang motif HT “menjaring” pesantren dan kemudian menabur uang serta pesona kepada mereka. Banyak diantara kelomppok kedua ini yang mengingatkan agar kaum muslimin berhati-hati dengan gerak-gerik HT.
Mereka ini “mindful” (berhati-hati). Kelompok “mindful” tidak ingin kaum muslimin berada di bawah pengaruh, apalagi kendali, “orang luar” yang dipandang sedang menjalankan misi tertentu. Mereka risih menyaksikan para santri, baik laki-laki maupun perempuan, mencium tangan HT. Yang menarik adalah, kedua kelompok dengan dua opini yang berbeda ini memiliki persamaan. Yaitu, sama-sama berharap agar HT mendapatkan hidayah. Agar dia menjadi seorang muslim.
Tentu harapan ini sangat wajar. Sebab, kedua kelompok menginginkan HT tampil menjadi sosok yang jelas.
Selama ini, untuk mendukung gerakan “silaturahim”-nya ke kalangan pesantren dan dalam rangka meyakinkan kaum muslimin secara keseluruhan, HT dan Perindo menunjukkan sikap yang berseberangan dengan pemegang kekuasaan. Menunjukkan secara gamblang sikap yang bertentangan dengan Jokowi. HT sangat lihai menggunakan “faktor Jokowi”. Sebab, Jokowi belakangan ini dipandang tidak berpihak kepada kaum muslimin, bahkan ada yang menganggap mengesampingkan kaum muslimin. Ada pula yang berpendapat Jokowi opresif terhadap kaum muslimin yang, antara lain, ditunjukkannya dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kriminalisasi para ulama serta da’i.
Pendirian HT yang menentang Jokowi, ikut “dinikmati” oleh kelompok kedua. Mereka “memuji” beberapa saluran televisi milik grup MNC (grup HT) yang terlihat “melawan” Jokowi.
Sekarang, Alhamdulillah, HT tidak lagi abu-abu. Kata banyak orang, liputan saluran-saluran televisi grup MNC sekarang sudah menunjukkan warna aslinya. Tidak lagi membuat kaum muslimin ragu-ragu.
HT juga telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi untuk pilpres 2019. Bagi HT, tampaknya Jokowi “terlalu kuat untuk dilawan”. Atau, bisa juga sebaliknya, “HT punya terlalu banyak kelemahan untuk berdiri di depan Jokowi”.
Apa pun itu, langkah HT yang menegaskan sikap politik dan pribadinya akan sangat bagus bagi semua orang. Kenapa bagus? Karena selama ini banyak sekali yang mencoba memoles-moles HT agar kelihatan punya simpati dan punya misi untuk melawan kezoliman. Padahal, dia sedang memperjuanghkan dirinya sendiri.
Oleh: Asyari Usman
Penulis adalah wartawan senior
[ipc]
loading...
loading...