Perbuatan Buni Yani Bukan Pidana, Buni Yani Harus Bebas
Sebagaimana diketahui Buni Yani (BY) didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UU ITE. Kedua Pasal tersebut memiliki perbedaan karakteristik norma hukum. Dimasukkannya Pasal 32 ayat (1) oleh Penuntut Umum mengesankan untuk 'mensiasati' kelemahan dakwaan terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memutuskan Basuki T. Purnama alias Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penodaan agama sebagaimana dakwaan pertama Penuntut Umum (Pasal 156a huruf a KUHP). Putusan aquo telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkraht).
Secara singkat, penulis sampaikan beberapa hal terkait tidak terpenuhinya unsur dakwaan Penuntut Umum.
Pertama, Penuntut Umum tidak dapat memastikan corak (gradasi) kesengajaan, apakah dengan maksud (opzet als oogmerk), dengan sadar kepastian atau dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Frasa "dengan sengaja" pada Pasal 28 ayat (2) menunjuk pilihan atas ketiga corak kesengajaan tersebut. Tidak dapat dibenarkan dakwaan tanpa menunjuk salah satu corak kesengajaan tersebut. Secara teori dan praktik kesengajaan harus diobjektifkan sesuai dengan fakta yang terjadi (in concreto). Menunjuk pada adanya hubungan antara sikap batin (mens rea) dengan perbuatan (actus reus) termasuk akibat yang ditimbulkan. Akibat tersebut apakah memang dikehendaki oleh pelaku, atau timbul akibat lain yang tidak dikehendaki namun akibat tersebut secara sadar kepastian (keinsyafan) disadari oleh pelaku. Dapat juga terjadi, akibat lain yang tidak dikehendaki terjadi karena faktor kemungkinan.
Kedua, informasi yang disampaikan oleh BY tidak dapat dikatakan "tanpa hak" karena informasi tersebut bukan termasuk konten illegal dan melawan hukum. Video yang ditransmisikan oleh BY didasarkan pada Sistem Elektronik Kemeninfo Pemprov DKI Jakarta yang mendistribusikan pidato Ahok di Kep. Seribu. Informasi tersebut juga telah menjadi informasi publik.
Ketiga, BY tidak tepat dikatakan telah menyebarluaskan informasi yang tergolong konten illegal dan telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan atas SARA. Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara BY harus mengacu pada Putusan PN Jakarta Utara yang telah memutus bahwa Basuki T. Purnama secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah. Terlebih lagi putusan tersebut telah inkraht.
Putusan PN Jakarta Utara memiliki konsekuensi hukum terhadap dakwaan Penuntut Umum dan juga menjadi pertimbangan Pengadilan. Kita ketahui bahwa Ahok tidak terbukti memenuhi unsur Pasal 156 KUHP. Ahok terbukti bersalah memenuhi unsur Pasal 156a huruf a KUHP.
Di sisi lain, BY didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang merupakan lex specialis dari Pasal 156 KUHP. Kekhususan merujuk pada sifat delik, Pasal 156 berjenis delik formil, sedangkan Pasal 28 ayat (2) tergolong delik materil. Pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE pernyataan disampaikan melalui Sistem Elektronik , sedangkan Pasal 156 KUHP disampaikan di depan umum.
Perbuatan mentransmisikan oleh BY harus dinyatakan bukan perbuatan pidana, oleh karena PN Jakarta Utara menyatakan unsur perbuatan Pasal 156 KUHP tidak terbukti. Dengan tidak terbuktinya unsur perbuatan pada Pasal 156 KUHP, maka secara a contrario penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap BY harus pula dinyatakan tidak terbukti.
Keempat, menanggapi masuknya Pasal 32 ayat (1) UU ITE, saya berpendapat telah terjadi konflik norma dalam penerapan hukum terhadap peristiwa konkrit yang terjadi. Pada perkara BY, penerapan Pasal 28 ayat (2) harus ada hubungan dengan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 32 ayat (1).
Perbuatan "mengurangi" konten video yang diunggah oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai dasar dakwaan Pasal 32 ayat (1) bukanlah termasuk tanpa hak atau melawan hukum. Pengurangan konten tersebut harus dimaknai pengeditan yang sama sekali tidak mempengaruhi konten video secara keseluruhan.
Pengeditan yang dilakukan oleh BY hanya dimaksudkan untuk mempertegas adanya pernyataan Ahok yang dianggap bermasalah, dan ini bersifat asumsi, bisa benar bisa pula salah. Pada kondisi yang demikian, BY hanya berkehendak untuk mendapatkan penilaian tentang baik atau tidak perkataan tersebut menurut standar pemahaman masyarakat pada umumnya.
Terkait dengan pengutipan - tanpa menyebut kata "pake" - adalah juga tidak mengurangi makna sesungguhnya dari seluruh rangkaian kalimat yang dinyatakan oleh Ahok. Hal ini pun tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim PN Jakarta Utara sebagai alasan tiadanya ketersalahan pada diri Ahok.
Pada setiap pengutipan dalam suatu penulisan lazim dipraktekkan pengeditan terhadap suatu teks baik lisan maupun tulisan. Bahkan diperkenankan merubah suatu kalimat sepanjang penulis menyebutkan sumber aslinya sebagai rujukan yang dapat diverifikasi.
Terdakwa adalah seorang akademisi yang tentunya sangat mengerti tentang tata cara penulisan, baik untuk konsumsi masyarakat umum, maupun untuk kepentingan forum ilmiah. Perlu dicatat, bahwa BY bahkan telah memberikan link video resmi dari Kemeninfo Pemprov DKI Jakarta. Disini sangat terlihat BY justru menghendaki agar orang yang melihat dan membaca postingannya untuk meninjau langsung sumber aslinya. Dengan demikian setiap orang justru dapat memberikan penilaian melalui video yang diunggah oleh Pemprov DKI Jakarta, bukan pada konten Akun FB miliknya.
Sepanjang pengetahuan saya, yang selalu mengikuti dan mengamati seluruh rangkaian proses hukum terhadap Ahok dan juga sebagai Ahli Pidana yang dihadirkan oleh Penuntut Umum, tidak ada satu pun Saksi Pelapor yang melaporkan Ahok dengan dasar video yang diedit oleh BY. Semuanya merujuk pada video yang diunggah oleh Kemeninfo Pemprov DKI Jakarta. Begitu pun para Ahli, baik dalam proses pemeriksaan di tahap penyidikan maupun pemeriksaan di depan sidang Pengadilan, semuanya mengacu pada konten video milik Pemprov DKI Jakarta.
Lebih lanjut, BY bukan sebagai pihak yang membuat dan mendistribusikan, ia hanya mentransmisikan. Logika hukumnya, apabila suatu konten dianggap ilegal, maka selain pihak yang mentransmisikan, kepada pihak yang membuat dan mendistribusikan (in casu pihak yang bertanggung jawab di Pemprov DKI Jakarta) juga harus dilakukan proses hukum. Tidaklah mungkin terjadi perbuatan mentransmisikan tanpa sebelumnya tidak ada pihak yang membuat dan mendistribusikan.
Ketika seseorang dilaporkan - untuk kemudian diproses secara hukum - telah melakukan penyebaran konten ilegal, namun di sisi lain pihak yang membuat dan/atau mendistribusikan melalui Sistem Elektronik tidak diproses secara hukum, maka dipastikan disitu telah terjadi penyimpangan asas kepastian dan sekaligus mencederai asas keadilan.
Kemudian disampaikan, bahwa baik Pasal 28 ayat (2) maupun Pasal 32 ayat (1) mensyaratkan harus adanya suatu akibat berupa kerugian bagi orang lain, sebagaimana disebutkan pada Pasal 36 UU ITE. Kerugian dimaksud harus konkrit dan nyata. Tegasnya harus ada korban yang dirugikan. Dalam proses persidangan Ahok tidak ditemukan adanya korban yang merasa dirugikan baik materil maupun immateril terkait penerapan Pasal 156 KUHP. Ahok hanya terbukti menodai agama (In casu Surah Al Maidah : 51). Lalu siapa sebenarnya korban yang merasa dirugikan pada perkara yang menjerat BY?
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perkara BY adalah sebagai berikut.
Terdapat kesalahan JPU yang sangat signifikan dalam upaya pemenuhan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, tidak sesuai dengan fakta hukum yang terjadi. Dengan kata lain, pemenuhan unsur-unsur dakwaan sebagai premis minor tidak sesuai dengan norma hukum dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UU ITE, sebagai premis mayor.
Konklusinya adalah perbuatan BY tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak dapat pula untuk dimintakan pertanggungjawan secara pidana.
"BUNI YANI HARUS BEBAS."
Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH
[tsc]
loading...
loading...