3,6 Juta Orang Bebas Pph, Negara Kehilangan Rp 20 T



Upaya pemerintah memperbaiki daya beli masyarakat dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 4,5 juta per bulan pada 2016, memberikan dampak negatif. Penerimaan pajak diklaim berkurang Rp 20 triliun.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini sedang mengevaluasi kebijakan menaikkan batas PTKP menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan, dari sebelumnya Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta sebulan. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, PTKP Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara. "Kalau kita bandingkan negara ASEAN, PTKP kita paling tinggi, walaupun in­come per kapita kita relatif lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura," ung­kap Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Rabu malam (19/7). 

Sri menuturkan, kebijakan menaikkan PTKP tersebut mengganggu realisasi peneri­maan karena basis pajak di In­donesia menurun. Menurutnya, pihaknya sedang melihat apakah kebijakan tersebut tepat dilaku­kan. Sebab, sebelum menaikkan PTKP pada tahun 2016, tahun sebelumnya pemerintah sudah menaikkan PTKP. 

"Kita ingin tax ratio compa­rable dengan negara lain, kita harus lihat kenapa Indonesia berbeda. Kalau policy menge­nai PTKP, dengan income per kapita yang kita miliki dengan negara lain apakah bisa dilihat sebagi salah satu yang menjelas­kan basis pajak kita berbeda," jelasnya. 

Direktur Penyuluhan, Pelayan­an, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menerangkan, batas PTKP saat ini tinggi karena ada kenaikan PTKP cukup signifikan dalam periode 2 tahun terakhir (2015-2016) masing-masing 50 persen dari tahun sebelumnya. 

"Akibat kenaikan itu, sekitar 3,6 juta Wajib Pajak terdaftar yang tadinya bayar pajak menjadi di bawah PTKP alias tidak bayar pajak lagi," ungkapnya seperti dikutip mediaonline, kemarin. 

Hestu mengatakan, akibat 3,6 juta Wajib Pajak tidak memba­yar pajak lagi, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 jadi berkurang, sekitar lebih dari Rp 20 triliun tahun ini. 

Hestu menegaskan, pemerintah belum memiliki rencana menurunkan PTKP. Namun demikian, pemerintah sedang melakukan kajian penerapan PT­KP berdasarkan upah minimum provinsi (UMP). Menurut Hestu, diskusi dan kajian mengenai perubahan penerapan PTKP sedang dilakukan Badan Kebi­jakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. 

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo me­nilai, kebijakan perubahan batas PTKP sebagai kekeliruan. 

Saat itu, pemerintah tidak memperhitungkan potensi kehilangan pajak, dan fokus menjaga daya beli masyarakat. 

"Kebijakan tidak efektif, kar­ena yang kaya juga mendapat insentif kalau PTKP naik. Harus­nya kalau mau menjaga daya beli bukan dengan PTKP, melainkan dengan cash transfers, sehingga akan lebih tepat sasaran kepada yang membutuhkan," ujar Yusti­nus kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Menurutnya, pemerintah tidak boleh mengulang kesalahan yang sama, dengan mengganti PTKP yang seolah-olah untuk populis. 

Yustinus mendukung rencana pemerintah mengubah formula PTKP. Dengan demikian, tu­juannya bukan semata-mata untuk menambah penerimaan negara. Namun, membuat model yang lebih baik, sehingga penge­naan pajak lebih fair, dan fokus kepada yang membutuhkan. 

Yustinus menilai, positif ren­cana pemerintah ingin menerapkan PTKP berdasarkan UMP. Sebab menurutnya, instrumen itu sangat mendekati cerminan hidup masyarakat. Menurutnya, pemerintah tinggal membuat zonasi, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ditambah Karawang. Jawa Tengah dan Yogyakarta juga bisa digabung, sedangkan Indonesia Timur, bisa membuat zonasi Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 

"Selama ini buruh ada di kota besar. Mereka menikmati PTKP tinggi tidak masalah. Namun di tempat lain yang UMP rendah, mendapat PTKP tinggi, sehingga kalaupun UMP naik, buruh di sana tidak akan pernah bayar pajak," terangnya. 

Yustinus mengusulkan batasan PTKP sebesar 10 persen di atas UMP. Sehingga masyarakat yang berpenghasilan UMP tidak kena pajak. Misalnya, di Yog­yakarta UMP Rp 2 juta, dengan 10 persen PTKP menjadi Rp 2,2 juta. ***

loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

loading...