Nah Lho, Hukum Di Indonesia Belum Mengatur Persekusi
Sejumlah kasus persekusi yang terjadi belakangan berpotensi menjadi kejahatan kemanusiaan. Alasannya, tindakan itu terjadi secara sistematis dan meluas. Sementara hukum di Indonesia belum secara khusus mengatur soal kejahatan persekusi.
Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, merujuk pada ketentuan hukum, baik hukum di Indonesia maupun internasional, persekusi adalah kejahatan yang bersifat sistematis dan terjadi secara meluas. Jika tidak, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, tetapi hanya tindak pidana biasa.
"Persekusi dimasukkan ke dalam Statuta Roma (1998) sebagai salah satu perbuatan yang bila dilakukan secara sistematis atau meluas, kemudian masuk dalam salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi, bila tidak dilakukan secara sistematis atau meluas, masuk dalam hukum pidana biasa," katanya di Jakarta.
Dia menerangkan, suatu kejahatan bisa disebut terjadi secara sistematis jika dilakukan secara terencana, memiliki pola, serta bagian dari kebijakan organisasi tertentu, baik itu negara maupun non-negara.
"Kebijakan organisasi ini bisa kita lacak, tetapi kadang (kebijakan itu) tidak tertulis," sebut Roichatul.
Sementara, parameter meluas, jika kejadian tersebut terjadi dalam wilayah geografis yang luas.
Terkait tindakan yang dialami seorang dokter di Sumatera Barat dan seorang remaja di Jakarta, Komnas HAM akan melakukan serangkaian proses untuk mengetahui apakah termasuk persekusi atau bukan. Proses itu di antaranya, pemantauan, penyelidikan, hingga kajian hukum untuk memvonis beberapa peristiwa dengan pola sama sebagai peristiwa sistematis dan memenuhi unsur persekusi.
Sebelumnya, Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa bersama Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menemui korban persekusi M dan keluarganya di rumah perlindungan milik Kementerian Sosial di Jakarta Timur. Kunjungan dilakukan guna memastikan kondisi korban, apalagi M dan dua saudaranya saat itu tengah mengikuti ujian sekolah.
Wakil Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, perlindungan terhadap korban persekusi M berikut keluarganya menjadi tanggung jawab LPSK, meskipun saat ini mereka ditempatkan di rumah perlindungan milik Kemsos di Jakarta Timur. Perlindungan LPSK biasanya diberikan dalam jangka waktu enam bulan.
Namun, dalam jangka waktu tersebut akan dilihat lagi apakahpotensi ancaman terhadap korban masih tinggi. "Kalau potensi ancaman itu tinggi, LPSK bisa mengambil tindakan lebih lanjut, termasuk memindahkan ke tempat yang lebih aman," katanya.
Hasto mengungkapkan, selain kasus persekusi dengan korban M dan keluarganya, LPSK juga telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak mengenai perlindungan yang mungkin diberikan kepada korban-korban dari kasus-kasus persekusi yang lainnya.
"Kita (LPSK) proaktif menawarkan program perlindungan bagi korban-korban persekusi yang lain, sebelum mereka mengajukan permohonan ke LPSK, kita sudah turun ke lapangan," ujar dia.
Kata Khofifah, selain pendidikan, pihaknya juga menurunkan tim psikososial terapi untuk mengetahui kondisi psikologis korban. "Mereka diasesmen dan diterapi untuk jangka waktu tiga bulan ke depan. Tapi, kalau dalam waktu sebulan pulih, mereka bisa dikembalikan ke lingkungan sosialnya," katanya.
sumber : rmol
loading...
loading...