Wajar Ekonomi Kita Dinomorduakan, Market China Lebih Besar



Rombongan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al-Saud merasa sangat nyaman saat mengunjungi Indonesia beberapa waktu lalu. Bayangkan, 13 hari sang Raja betah berkunjung sekaligus berlibur di Tanah Air. Ini berbeda dibandingkan China yang hanya dikunjungi dua hari saja. Artinya, perbandingan stay tinggi Raja Salman di Indonesia dengan China itu menandakan secara sosial kultural, bumi pertiwi mendapatkan hati sang Raja. Ini menjadi modal baik kerja sama dua negara di masa mendatang.

Memang, dari ukuran investasi kita jauh dari China. Perbandingannya, investasi Saudi ke China 10 kali lebih besar dibanding dengan Indonesia. Investasi Raja Salman di Indonesia hanya mencapai 6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 89 triliun (kurs Rp 13.300), sedangkan investasinya ke China mencapai 65 miliar dolar AS atau sekitar Rp 870 triliun.

Jika ukurannya investasi, bisa dibilang kita memang nomor dua dari China. Bahkan, Presiden Jokowi pun sedikit kecewa dan bercanda telah berupaya memayungi Raja Salman saat berkunjung ke Indonesia. Tercatat, hasil investasi ini meleset jauh dari harapan Indonesia yang berharap memperoleh investasi dari kunjungan tersebut sebesar 25 miliar dolar AS atau sekitar Rp 332 triliun.

Tapi itu wajar, jangan menganggap ini pesimistis. Justru, momentum ini bisa menjadi pelajaran untuk pemerintah dan masyarakat. Yaitu, bagaimana kita memperbaiki dan membuat peluang-peluang investasi asing ke Indonesia. Berbagai persoalan kerja sama bisnis harus diperbaiki, misalnya perizinan. Hal-hal yang menghambat investasi harus dikurangi. Ini diperlukan tidak hanya komitmen pemerintah pusat, tapi daerah juga. Kita lihat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan wewenang mendagri mencabut perda. Kalau kita introspeksi dan menjadi lebih baik, Insya Allah investasi yang datang juga jauh lebih baik lagi. 

Nah, kalahnya kita dengan China soal investasi karena kita beda tipis soal market. Market kita luar biasa, tapi China tumbuh lebih besar. Kerja sama Saudi-China itu memang semata bisnis. Buktinya, dari dua hari kunjungan investasi deras duit Saudi ke China mengalir. Padahal, Saudi sebenarnya juga butuh investor. Saham Aramco 5 persen ingin dilepas Saudi. Itulah kerja sama China-Saudi. Semata investasi.

Tapi tidak dengan Indonesia. Keuntungan kita atas Saudi bukan jangka pendek seperti itu. Selama 13 hari Raja Salman berada di Indonesia, delapan harinya liburan di Bali, ini menandakan kita sudah mendapatkan hati Raja Salman. Bisa jadi, kita akan untung besar di sektor pariwisata. Nah, komitmen meningkatkan pariwisata harus dilakukan. Momentum Raja Salman ke Indonesia jangan hilang begitu saja. Kita bisa mendapat pasar dari Timur Tengah. Mereka akan datang ke Bali, mengikuti jejak Raja Saudi.

Saat gelombang besar pariwisata datang, kita harus jauh lebih siap. Misalnya, penyediaan hotel berbasis syariah. Ini kan masih jarang. Kita harus perbaiki ini, selain hotel, tempat makan halal dan relaksasi syariah memang harus ditambah. Ini sudah dilakukan sejumlah negara maju. Jadi, secara kasat mata jangan merasa dinomorduakan oleh Saudi dengan service besar kita terhadap Raja Salman. Tetap saja, jika hubungan baik kedua negara sudah terjalin dan sudah sampai menggunakan hati, maka berikutnya tidak akan sulit. Kita tinggal perbaiki urusan berbisnis di Tanah Air dan biarkan mereka lebih dahulu datang dengan mencicipi pariwisata kita terlebih dahulu. Setelah itu, pebisnis akan tertarik berinvestasi di Tanah Air, tidak hanya kalangan monarki Saudi dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya juga akan berbondong datang. Jadi jangan pesimistis.[rmol]

loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...