Minta Sidang Ahok Ditunda, Pengamat: Polri dan Kejagung Jangan Mengada-ada
Protes terhadap Kapolda Metro Jaya yang meminta sidang Basuki T Purnama ditunda terus mengalir. Pengamat kebijakan publik Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah mempertanyakan langkah kepolisian itu.
Selain itu, Amir juga menyoroti profesionalisme Jaksa Agung HM Prasetyo, yang juga ikut-ikutan sepakat dengan Polri agar sidang tuntutan terhadap Ahok ditunda
"Polri dan Kejagung jangan mengada-ada, kita bernegara ada aturan mainnya. Negara ini berdasarkan hukum dan UUD 45, tidak bisa seenaknya sendiri," kata Amir saat berbincang dengan TeropongSenayan, Jakarta, Jumat (7/4/2017).
Amir mengingatkan, bahwa saat ini proses hukum Ahok tak bisa lagi dijungkir balikkan Polri maupun Kejaksaan karena sudah bergulir di meja hijau pengadilan.
"Tugas polisi dan Kejaksaan itu sudah rampung terhitung sejak berkas perkara Ahok dilimpahkan ke pengadilan. Kini kendali penuh ada di majelis hakim yang tak seorang pun (lembaga negara) boleh mencampuri, termasuk presiden sekalipun," ungkap Amir.
"Ingat, Polri dan Kejaksaan sebagai bagian dari eksekutif jangan coba-coba mencampuri wilayah lembaga Yudikatif (pengadilan). Mari kita hormati independensi hakim dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bedasarkan pancasila dan keadilan, Jangan lecehkan majelis hakim dengan secarik kertas (surat)," tegas Amir.
Lebih jauh, Amir memandang, Negara melalui jaksa penuntut umum (JPU) hanya berkewajiban mengajukan penuntutan sebagaimana yang diminta Ketua Majelis Hakim Jakarta Utara, Dwiarso Budi Santiarto.
Amir mengapresiasi, sikap tegas Dwiarso yang secara tegas menolak permintaan Kapolda Metro Jaya, Mochammad Iriawan.
Menurutnya, Dwiarso konsisten mematuhi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang meminta jalannya persidangan Ahok tidak lebih dari lima bulan sejak pertama bergulir pada 13 Desember 2016 lalu.
"Momen ini juga menjadi penting, mengingat pasal yang akan dibacakan dalam persidangan nanti adalah landasan pemerintah (Kemendagri) untuk memutuskan, apakah akan memberhentikan Ahok atau tidak," jelas Amir.
Sebab, lanjutnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, sebelumnya enggan melakukan itu sebelum ada tuntutan dari JPU, alasannya, ada dua pasal yang menjerat petahana Pilkada DKI itu. Yakni, Pasal 156 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500 dan Pasal 156 a KUHP dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun.
"Seperti yang sudah disampaikan Mendagri, kejelasan statusnya menanti kejelasan tuntutan JPU. Tuntutannya berapa tahun? Kalau di bawah lima tahun, ya tidak perlu diberhentikan. Kalau di atas lima tahun, ya diberhentikan sementara," ujar Amir menirukan sesumbar Tjahjo, beberapa waktu lalu.
"Nah, munculnya surat permintaan penundaan tuntutan itu patut diduga hanya untuk mengantisipasi dan sekaligus menunda pemberhentian sementara Ahok sebagai penguasa DKI. Saya kira publik harus cermat, jangan mau terkecoh dengan permainan nakal begini," pesan Amir.
Pasalnya, Amir meyakini, tuntutan JPU akan menggunakan pasal 156a dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Sebagaimana dalam KUHP, Pasal 156a berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Jadi, peluang Ahok diberhentikan Kemendagri Selasa (11/4/2017) pekan depan sangat besar," pungkas Amir.[tsc]
loading...
loading...