Nelayan Optimis Menang Atas Gugatan Pulau F, I Dan K
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta optimistis gugatan atas Pulau F, I, dan K, Teluk Jakarta, dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Jika bertindak adil maka pengadilan tata usaha negara jelas akan memenangkan gugatan nelayan," kata Aktivis Walhi, Edo Rakhman, saat konfrensi pers bersama perwakilan KNTI dan LBH Jakarta di kantornya, Jakarta, Rabu (15/3).
Salah satu upaya yang dilakukan, sebut dia, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi proses peradilan tersebut.
"Pengawasan KPK penting agar tidak terjadi proses tindak korupsi dalam proses peradilan," kata Edo.
Eko mengungkapkan, pihaknya sudah mengajukan 109 bukti di hadapan majelis hakim, lima ahli dan enam saksi dari nelayan. Bukti-bukti itu dirasa cukup untuk memastikan proyek Pulau F, I, dan K melanggar ketentuan yang berlaku.
Data yang dihimpun redaksi, reklamasi Pulau F seluas 190 hektare dikerjakan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Pulau I seluas 405 hektare dikerjakan PT Jaladri Kartika Pakci dan PT Pembangunan Jaya Ancol, adapun Pulau K seluas 30 hektare dikerjakan PT Pembangunan Jaya Ancol.
Eko juga mengungkapkan, pihaknya telah membuktikan bahwa kewenangan dalam menerbitkan objek sengketa terkait Pulau F, I dan K berada pada kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bukan kewenangan Pemprov DKI Jakarta.
Kedua, lanjut Edo, pihak tergugat telah menyalahi prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan mengenai reklamasi yaitu dengan tidak mendasarkan kepada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Tidak adanya izin lokasi, tidak ada izin lokasi pengambilan material tidak adanya rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk pelaksanaan reklamasi dan tidak adanya pengumuman permohonan izin lingkungan," ungkapnya.
Selain itu, kata Edo seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, pihak tergugat juga tidak pernah melakukan pengumuman izin lingkungan, tidak adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang mendasari terbitnya objek sengketa dan tidak adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara kawasan terpadu dan terintegrasi dalam kawasan teluk Jakarta.
"Tergugat juga tidak bisa menunjukkan AMDAL di daerah pengambilan material reklamasi, tidak adanya memasukan berbagai peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan yuridis dalam mengeluarkan objek sengeketa," katanya.
Lanjut Edo, dasar terbitnya objek sengketa terbukti tidak sesuai dengan hukum lingkungan dan tanpa melalui proses partisipasi publik dari masyarakat pesisir dan nelayan.
"Terbitnya objek sengketa bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance) karena pemprov telah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang wajib ditaati. Lagian reklamasi sendiri telah dihentikan oleh pemerintah pusat ini menunjukan ada kesalahan dalam proses reklamasi," tukas Edo.
sumber : rmoljakarta
loading...
loading...