Ingin Pisahkan Agama dengan Politik, Ferdinand : Bukti Jokowi Pro Ahok



Pimpinan Rumah Amanah Rakyat (RAR) Ferdinand Hutahaean menilai pernyataan Jokowi bahwa agama dan politik harus dipisahkan adalah bentuk dukungan pada Ahok. Sayang sebagai Presiden pernyataan itu salah besar dan fatal.
"Saya paham kemana arah Presiden Jokowi dengan mengangkat pernyataan itu. Wajar, karena Jokowi adalah kader PDI Perjuangan yang saat ini mendukung Basuki Tjahaja Purnama sang terdakwa penodaan agama Islam menjadi Calon Gubernur Jakarta 2017-2022," tandas Ferdinand di Jakarta, Minggu (26/03/2017). 
Ferdinand menilai dukungan pro Ahok itu menjadi sangat lumrah pernyataan itu sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan kepada Cagub PDIP tersebut. Namun tidak lumrah dan salah adalah ketika pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Presiden. 
"Presiden tidak boleh salah, meski secara pribadi Jokowi boleh salah. Pilihannya cuma satu, kalau mau jadi presiden, jangan salah, kalau mau salah terus menerus, silahkan jangan jadi Presiden," papar Ferdinand.
Menurut Ferdinand, ujaran Presiden Jokowi tentang pemisahan agama dengan politik itu erat hubungannya dengan pernyataan Karl Max tentang agama. Pernyataan Karl Max tersebut, menurut dia, didasari oleh situasi di Eropa dan Barat yang menjadikan Agama untuk meredam atau menina bobokan masyarakat dengan penderitaannya.
"Dengan Agama, rakyat di Eropa dan Barat menjadi lupa kegagalan Raja dan Pemerintah mensejahterakan rakyatnya," ungkap dia. 
Itulah, kata dia, yang melatar belakangi pernyataan tersebut sehingga Komunisme menginginkan pemisahan dan menjauhkan agama dari politik. Karena, menurut Ferdinand, agama telah dijadikan sebagai alat politik. 
"Lantas mengapa Jokowi ingin memisahkan agama dengan politik? Saya melihat perbedaan antara yang mendasari pernyataan Karl Max dengan pernyataan Jokowi. Karl Max ingin memisahkan agama dari politik supaya rakyat bangkit. Sedang Jokowi ingin memisahkan agama dengan politik supaya rakyat bungkam, karena rakyat telah bangkit dengan kekuatan Agama. Ini tentu menakutkan bagi kekuasaan yang rapuh," tandasnya. 
Menurut dia, semangat memisahkan agama dengan politik itu jelas basisnya adalah pemikiran komunis. Sehingga, lanjut dia, pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah sebuah kesalahan besar karena UUD 45 sebagai konstitusi bangsa Indonesia menyatakan bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. 
"Artinya, negara dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan yang tentu hanya didapat melalui agama," tegasnya. 
Dengan demikian, kata dia, Nilai-nilai Ketuhanan tentu tidak akan didapat dari paham komunis yang bahkan Atheis, tidak mengakui eksistensi Tuhan. Menurut Ferdinand Jokowi mungkin terjebak oleh para pembisik atau staf berhaluan kiri yang ada dilangsungkan Istana sehingga Jokowi kembali harus salah. 
"Agama dan Politik tidak bisa dipisahkan, karena politik harus dilandasi nilai-nilai Ketuhanan dan etika serta adab yang hanya didapat dari Agama. Yang tidak boleh adalah memperalat Agama untuk tujuan politis, memperalat agama untuk meraih kekuasaan seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Jokowi saat Pilpres, Umroh dan pake sorban, itu memperalat agama untuk tujuan politik, itu yang tidak boleh," sindir dia. 
Dikatakannya, Menjadikan agama menjadi isu politik adalah salah, tapi agama dalam politik itu wajib supaya politik menjadi berlandaskan Ketuhanan, beradab dan beretika. 
"Memperalat politik untuk menjauhkan agama dari kehidupan manusia juga tidak boleh, karena politik harus berlandaskan nilai-nilai luhur agama. Itulah yang seharusnya disampaikan Presiden, bukan memisahkan politik dengan agama, karena itu aliran Komunis yang kental," tandasnya. 
Selain itu, ujar Ferdinand, menuntut untuk menghukum penista agama itu adalah sah dilakukan. Dia menegaskan hal itu bukan mempolitisasi agama, hanya karena waktunya bersamaan dengan pilkada. 
Maka itu, Ferdinand mengingatkan, untuk semua pasangan calon Pilkada khususnya Jakarta, agar berhenti menggunakan isu agama sebagai bahan kampanye, pisahkan pilkada dengan pebegakan hukum, biarkan rakyat memilih sesuai nilai-nilai Ketuhanan yang didapatnya dari agama yang diyakininya dan tidak boleh dipolitisasi. 
"Semoga Presiden Jokowi segera menyadari, bahwa Presiden tidak boleh salah, harus paham sejarah. Secara pribadi Jokowi boleh salah, tapi sebagai Presiden tidak boleh salah. Jika masih ingin terus salah, silahkan jangan jadi Presiden, karena bangsa dengan 250 juta lebih penduduknya ini yang menjadi taruhan atas sebuah kesalahan bertindak dan berbicara oleh Presiden," tegasnya.


loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

loading...