Fahri: Demokrasi Kita Dapat berdarah-darah, Bilang Demokrasi Kebablasan Salah itu!
Presiden Joko Widodo menyatakan iklim demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Kondisi demokrasi saat ini membuka peluang terjadinya artikulasi politik ekstrem yang bertentangan dengan Pancasila. Penyimpangan praktik demokrasi secara jelas terlihat dari persoalan politisasi SARA.
Pernyataan Jokowi mendapat kritik dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Fahri mengatakan, penilaian Jokowi soal demokrasi kebablasan itu keliru. Menurutnya, demokrasi yang dimaksud Jokowi adalah menyangkut aspek hukum.
"Makanya saya katakan pidato presiden itu keliru, yang membuat pidatonya itu perlu memahami dalam konsep-konsep dasar dari demokrasi. Demokrasi itu jangan disalahkan, demokrasi itu kita dapat berdarah-darah ini, terus bilang demokrasi kebablasan, salah itu," kata Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/2).
Sebab, kata dia, demokrasi memiliki dua sudut pandang, yakni dari segi kebebasan atau hukum. Bagi Fahri, pernyataan Jokowi itu lebih berkaitan dengan aspek hukum dengan melihat realitas penegakan hukum sekarang di Indonesia. Fahri melihat, realita hukum dan aturan sudah berlebihan.
"Karena yang bisa kebablasan itu adalah sisi dari mata uang demokrasi itu, yaitu kebebasan atau hukum. Nah yang bisa kebablasan itu adalah kebebasan, jadi muncul istilah ini kebebasan sudah kebablasan. itu boleh," terangnya.
"Atau sisi lain daripada demokrasi itu adalah hukum atau regulasi. Sehingga ada orang mengatakan ini over regulated, negara yang over regulated itu biasanya kebebasannya terkunci dan negaranya jadi tidak kreatif," sambung Fahri.
Sementara, pemerintah memiliki tugas untuk mengawal penegakan hukum yang adil bagi warga negaranya. Untuk itu, demokrasi tidak bisa disalahkan, karena kebablasan yang dimaksud adalah perihal penegakan hukum.
"Tugas negara itu dengan uang dan fasilitas yang diberikan ke pejabatnya itu menjaga hukum agar adil bagi semua orang. Karena jika semua orang merasakan keadilan hukum, maka semua orang akan bertanggung jawab saya kira itu," ujarnya.
Fahri menyarankan, Jokowi tidak mengeluh dan mengevaluasi diri. Sejauh ini, lanjutnya, masyarakat belum merasakan penegakan hukum yang adil dan profesional. Contoh terbaru, yaitu upaya kriminalisasi terhadap ulama-ulama. Padahal para ulama hanya menyampaikan aspirasi soal tegaknya keadilan.
"Saya kira Pak Jokowi kritiklah diri sendiri, sebagai eksekutif dan sebagai penyelenggara negara bahwa sayang ya, rakyat belum merasakan tegakan hukum yang adil. Kan kita lihat hukum ini main-main, begitu menyangkut orang-orang tertentu enggak jadi, begitu menyangkut orang tertentu cepat. Termasuk kriminalisasi ulama," tandas Fahri.
Sebelumnya, dalam empat sampai lima bulan terakhir, Presiden Joko Widodo mengaku mendapat banyak pertanyaan mengenai demokrasi di Indonesia yang tengah diuji oleh serangkaian persoalan. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan adalah demokrasi Indonesia yang sudah kelewatan atau kebablasan.
"Apa demokrasi sudah terlalu bebas dan kebablasan? Saya jawab iya. Demokrasi kita kebablasan," tegas Presiden Jokowi saat memberikan pidato dalam rangka pengukuhan pengurus Partai Hanura di Sentul International Convention Center, Rabu (22/2).
Jokowi menuturkan, praktik demokrasi politik di Indonesia membuka peluang terjadinya artikulasi politik ekstrem. Mulai dari liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, hingga terorisme. Serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Presiden mengatakan, penyimpangan praktik demokrasi secara jelas terlihat dari persoalan politisasi SARA. Jokowi menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia menghindari praktik semacam ini.
"Sekarang ini bertebarannya kebencian, fitnah, saling memaki, menghujat, bohong. Kalau diteruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita," kata Jokowi.
sumber : merdeka
loading...
loading...