Dunia Diterjang Badai Dan Gempa; Jokowi Berpegang Pada Apa?




SELURUH analis ekonomi dan politik pasti sepakat bahwa dunia yang kita diami sekarang tengah dilanda badai dan turmoil yang hebat. Bukan sekedar ketidakseimbangan "unbalance" tapi kerusakan sistem yang sifatnya mendasar. Bangsa yang berdiri tanpa pegangan pasti akan terseret badai dan terhempas ke dasar lautan.

Bayangkan saja, Amerika Serikat negara yang memimpin globalisasi tengah menanggung utang yang besar, sulit dibayangkan bagaimana mereka membayarnya. China utang publiknya mencapai 31.7 triliun dolar, jika utang ini runtuh maka seluruh Asia bahkan Afrika pecah berkeping keping akibat kejatuhan reruntuhan utang China. Arab Saudi sejak kejatuhan harga minyak akhirnya membuka wajah krisis negara tersebut. Tahun 2015 Arab Saudi menjadi negara paling agresif dalam meperdagangkan surat utang. 

Kondisi fiskal Arab Saudi adalah yang paling mengkuatirkan di dunia one of the worst fiscal deficit. Tingkat defisit fiskal Arab Saudi pada tahun 2015 hampir mencapai 15 persen dari GDP mereka. Defisit tertinggi lainnya dialami Venezuela, Oman, Bahrain, dan beberapa negara yang hidup dari minyak lainnya. Sepanjang harga minyak belum kembali ke 100 dolar AS per barel, kondisi ini akan terus dihadapi Arab Saudi.

Sementara harga minyak rendah tampaknya akan bertahan lama. Ada dua penyebab utama. Pertama China yang selama ini sebagai motor penggerak pertumbuhan global mengalami kontraksi yang besar. Pertumbuhan ekonomi negara tersebut tersisa 5-6 persen saja dari pertumbuhan double digit sebelum tahun 2010. Ekonomi china tidak mungkin tumbuh lagi. Namun sangat mungkin untuk jatuh lebih dalam. Kedua, Amerika Serikat sebagai konsumen minyak terbesar tidak lagi membutuhkan impor minyak dikarenakan negara ini mampu memproduksi seluruh kebutuhan minyak mereka. Bahkan disaat OPEC menurunkan kuota produksi minyak justru AS meningkatkan produksi mereka.

Amerika telah menendang minyak sebagai bahan bakar semata dan tidak lagi menjadi dasar bagi nilai mata uang dolar. Sama seperti era tahun 1970 an ketika mereka menendang emas sebagai perhiasan semata. Dolar Amerika Serikat sudah semakin independen sebaga mata uang global. Dolar bahkan sudah tidak menggantungkan dirinya pada kebijakan Amerika Serikat. Melahirkan instrumen akumulasi sendiri melalui cara cara spekulasi.

Itulah mengapa terjadi buble finance. Uang begitu banyak, namun semua negara menanggung utang. Utang global sudah mencapai 150 persen dari PDB semua negara. Jumlah uang sudah melampaui 10 kali dari PDB dunia. PDB dunia 60 triliun dolar. Tapi produk pasar keuangan mencapai 600 triliun dolar lebih. Uang tidak lagi memiliki dasar. Emas bukan, minyak bukan, PDB bukan, negara juga bukan. Akibatnya uang mencari mekanisme pengamanan sendiri. Mencari ruang ekploitasi yang paling efektif.

Tetapi over produksi, over akumulasi dan buble finance capita, tidak lagi dapat diatasi dengan pembukaan pasar, Liberalisasi barang publik termasuk infrastruktur, dan deregulasi keuangan. Mengapa?  Karena daya beli masyarakat dunia sudah jatuh. Orang sangat miskin dibawah garis kemiskinan mencapai 2 miliar manusia. Bahkan 70 persen penduduk dunia berads pada garis kemiskinan. Negara negara tidak sanggup lagi menyerap utang. Sebagian besar negara telah enanggung utang melebihi PDB mereka. Bahkan negara negara maju rata rata sudah di atas 100 persen PDB. 

Hanya ada satu peristiwa yang dapat menyelesaikan krisis yakni puncak krisis itu sendiri. Apa itu? Tidak lain adalah perang global. Perang terbatas seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Libya,  suria, tidak dapat mendongkrak ekonomi dunia, menghidupkan kembali industri besi baja, persenjataan, infrastruktur. Perang menciptakan penghancuran, perampasan, pasar baru dan akhirnya keseimbangan baru yang diharapkan pemilik keuangan global. Lalu di mana perang ini akan dilangsungkan? wallahualam.

Namun pertanyaan penting kita adalah,  presiden Jokowi sedang melakukan diplomasi luar negeri dalam urusan dan dalam rangka apa? Semoga pembukaan UUD 1945 alinea pertama dibaca kembali. Karena itulah mandat bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Itulah pegangan bangsa Indonesia mengarungi badai dan gelombang. Semoga kita semua rakyat Indonesia selamat...[***]

Salamuddin Daeng (AEPI)
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

sumber : rmoljakarta


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...