Desakan minta Jokowi nonaktifkan Ahok semakin kuat



Desakan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta semakin menguat. Ahok saat ini menyandang status sebagai terdakwa kasus dugaan penistaan agama. 

Selain itu, Ahok juga maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017. Dengan masih aktifnya Ahok sebagai gubernur, dikawatirkan Ahok akan menggunakan fasilitas negara dan jabatannya.

Desakan minta Jokowi menonaktifkan Ahok muncul dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Pimpinan DPR ini mengendus adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan Ahok bila tidak nonaktif sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok bisa saja menyalahgunakan wewenangnya sebagai gubernur untuk kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017.

"Ya kalau kita lihat ini membuat satu pandangan atau persepsi dia bisa memanfaatkan jabatan untuk kepentingan Pilkada," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/2).

Menurutnya, kebijakan mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta jelas menguntungkan Kubu Ahok di Pilgub DKI. Oleh sebab itu, tegas Fadli, sebaiknya Ahok diberhentikan sementara agar tidak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat.

Hal yang penting, tegas Fadli, adalah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap keadilan di Indonesia yang terus menyebar. Karena kasus Ahok ini mengandung unsur ketidakadilan. Fadli menilai pada beberapa kepala daerah terlibat kasus, seluruh pimpinannya diberhentikan sementara, lain halnya dengan kasus Ahok.

"Seorang terdakwa secara hukum jadi kepala daerah. Sementara pada kasus yang lain mereka diberhentikan sementara sampai itu (masalah) selesai, apa dia bersalah atau tidak," tegasnya.

Tak hanya itu, ribuan massa akan melakukan aksi 212 di depan gedung DPR, Selasa (21/2). Aksi yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan Forum Umat Islam (FUI) ini akan melakukan aksi damai dengan membawa beberapa tuntutan. Di antaranya, pemerintah didesak segera mencopot Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena dianggap melanggar UU. 

Tuntutan kedua, mengeluarkan SP3 terhadap kasus-kasus hukum yang menjerat para ulama, seperti Ketua Umum FPI Habib Rizieq Shihab hingga Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir. Kemudian, pendemo menuntut agar aparat penegak hukum menyetop penahanan terhadap mahasiwa Himpunan Mahasiswa Islam saat demontrasi 411.

"Copot gubernur Ahok. Stop kriminalisaai ulama. Stop penahanan mahasiswa dan penjarakan penista agama. Penjarakan penista agama jadi agenda ke empat karena kita paham ini peradilan kita hormati di peradilan yang sedang berjalan," kata Ketua Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam saat menemui pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/2).

Ditambahkannya, pendemo mengancam akan menginap selama 3 hari di Gedung DPR/MPR jika seluruh tuntutan tidak direspon oleh pemerintah. Rencana ini, lanjutnya, diambil melalui musyawarah 250 koordinator aksi 212.

"Bila Presiden tidak merespon kita tentu akan bermusyawarah dengan ulama dan korlap apa yang harus kami lakukan. Ini aspirasi bukan keinginan Usama Hisyam. Kalau kita dengar rapat korlap yang diikuti 250 korlap mereka menginginkan menginap 3 hari 3 malam sampai dipenuhi tuntutan," tandasnya.

Aksi damai 212 juga mendapatkan lampu hijau dari pimpinan DPR. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyarankan seluruh anggota DPR menghormati aksi demonstrasi yang digelar GNPF MUI dan Forum Umat Islam (FUI) di Gedung DPR/MPR RI. 

"Karena memang ini kita sebagai pejabat yang harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pejabat harusnya juga kita berikan keterangan kepada pengunjuk rasa apa yang harus diratifikasi," kata Agus di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/2).

Agus memberikan dukungannya untuk aksi demonstrasi yang menuntut proses hukum kasus penistaan agama yang menyeret Ahok. Dalam pandangannya, aksi unjuk rasa merupakan hak bagi setiap warga negara dan dijamin konstitusi.

"Kita ketahui bahwa unjuk rasa itu memang warga negara mempunyai kewenangan untuk melakukan unjuk rasa. Dan ini dilandasi dengan konstitusi dalam konstitusi memang melandasi itu," tegasnya.

Untuk diketahui, Polda Metro Jaya mengerahkan 10.000 personel guna mengamankan aksi 212 di Gedung DPR/MPR RI pada Selasa (21/2). Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono mengatakan, polisi siap mengawal jalannya aksi tersebut. "Petugas kepolisian siap mengawal aksi," kata Argo, Minggu (19/2). 


sumber : merdeka


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...