Advokasi GNPF: Saya Khawatir Negara ini Lama-lama Jadi Negara Mafia, Bukan Negara Hukum
PP Pemuda Muhammadiyah menilai penyadapan yang dilakukan terhadap pembicaraan Susilo Bambang Yudhoyono dan KH Ma'ruf Amin dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan. "Itu abuse of power," kata Ketua bidang hukum PP Pemuda Muhammadiyah, Faisal, dalam diskusi Akankah Ahok Dipenjara di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2017. Kepolisian diminta untuk memproses hukum penyadapan itu.
Dalam sidang perkara penistaan agama pada Selasa lalu, penasihat hukum Ahok, Humphrey Djemat, mengatakan akan mengeluarkan bukti-bukti pembicaraan telepon antara SBY dan Ma'ruf Amin. Penasihat hukum Ahok dengan yakin mengatakan pembicaraan itu terjadi pada 7 Oktober 2016, pukul 10.16 WIB.
Belakangan, Humphrey mengatakan informasi adanya pembicaraan itu berasal dari situs online Liputan6. Padahal di dalam tulisan berita itu tidak ada keterangan hingga detail waktu pembicaraan antara SBY dan Ma'ruf Amin.
Anggota tim advokasi GNPF MUI, Kapitra Ampera, khawatir atas penyadapan yang dilakukan pihak Ahok. "Saya khawatir negara ini lama-lama jadi negara mafia, bukan negara hukum," kata Kapitra.
Meski BIN telah mengeluarkan keterangan pers yang membantah adanya penyadapan itu, Kapitra mengatakan pengakuan itu disampaikan penasihat hukum Ahok di persidangan pengadilan. Humphrey, kata Kapitra, mengancam Ma'ruf untuk membeberkan bukti adanya pembicaraan dengan SBY.
Kapitra menilai penyadapan itu sebagai kejahatan atas kemanusiaan. "Itu mengganggu kebebasan masyarakat sebagai manusia yang merdeka," ujar dia. Penyadapan hanya bisa dilakukan bila ada perintah pengadilan atas sebuah kejahatan yang dilakukan.
Menurut Kapitra, penyadapan atas SBY dan Ma'ruf harus diproses hukum. Sebab, kasus itu bersifat delik umum, sehingga polisi tidak perlu menunggu laporan untuk memprosesnya. "Itu ancamannya 10-15 tahun dalam UU ITE," kata Kapitra.
sumber : tempo
loading...
loading...