PP 72 Buka Peluang KKN Seperti Di Masa Orba


Ekonom senior, Dradjad Harry Wibowo berpandangan, sesuai UU 1/2004 Pasal 2 jelas menyebutkan bahwa pengelolaan investasi negara, termasuk dalam perbendaharaan negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbendaharaan negara dalam UU Pasal 2 tersebut adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

"Ringkasnya, saham pemerintah di BUMN adalah bagian dari perbendaharaan negara, yang ditetapkan dalam APBN," kata Dradjad yang juga mantan komisaris di sebuah BUMN bank ini.

Apalagi sekarang, sambung Dradjad, sudah tidak boleh lagi ada pos atau kekayaan yang sifatnya non-bujeter atau di luar APBN seperti pada masa Orde Baru. Praktek non-bujeter ini menjadi sumber KKN sistemik dan masif.

"PP 72 tersebut mengembalikan lagi pos dan transaksi non-bujeter. Artinya PP 72 membuka kembali peluang KKN yang sistemik dan masif," kritiknya.

Apakah sudah terbukti melanggar?
"Tentu pengadilan yang berhak memutuskan, jika ada pihak yang melakukan uji materi terhadap PP ini. Namun hemat saya, akan lebih bijak jika PP ini dibatalkan atau diperbaiki dengan signifikan," tutup Dradjad.

Untuk diketahui, pemerintah telah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait BUMN dan Perseroan Terbatas (PT).

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Namun, aturan yang belum ramai diketahui kalangan termasuk DPR ini menuai kontra. Bahkan aturan tersebut dinilai berbahaya karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapapun tanpa diketahui oleh DPR.

sumber : rmol


loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...