Effendi Simbolon: Pemerintah Harusnya Seperti Wasit Dong, Toh Di Pilpres Bisa Menang Juga Karena Netizen


MEDIA NKRI INFO - Politikus PDI Perjuangan ini tidak setuju jika saat ini In­donesia dikatakan sedang darurat hoax (berita bohong). Dia menilai, hoax hanyalah masalah kecil jika dibanding­kan dengan permasalahan lainnya di republik ini.

"Saat ini masalah kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif listrik, dan barang lainnya justru yang lebih darurat bos. Masalah -masalah itu lebih perlu segera diatasi dari pada masalah hoax," ujarnya.

Anak buah Megawati Soekarno Putri ini meminta agar pemerin­tah tidak mendramatisir situasi, dan bertindak berlebihan untuk mengatasi masalah hoax di medsos. Pasalnya, aturan terkait hal itu sudah jelas. Pemerintah tinggal menerapkannya.

"Kan sudah ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Itu saja diterapkan," tukasnya. Berikut wawan­cara lengkapnya;

Meski Anda bilang tidak darurat, kenyataannya hoax kan menyebar tanpa bisa dibendung?
Hoax di medsos itu banyak karena kita baru memasuki era digital dunia maya. Kita baru menikmati masa enjoy, narsis, pakai media sosial. Masyarakat ingin bebas menuangkan aspirasi dan kreatifitasnya di sana, makanya terkadang berlebihan hingga terciptalah hoax. Tapi tidak berarti pemerintah bisa mengatur, kamu sama si anu jangan begitu. Lalu mengatur yang lain, kalau sama dia jangan begitu, nggak mungkin meng­atur seperti itu.

Kenapa tidak bisa kan pe­merintah berfungsi sebagai regulator?
Karena sosmed dan hoax ini posisinya antar manusia, bukan manusia warga negara dengan pemerintah. Kalau cara dari pemerintah kemudian langsung melarang dan memblokir, itu bukan cara yang bijaksana da­sung melakukan penutupan terhadap beberapa konten media sosial itu sangat mengekang kebebasan masyarakat dalam berekspresi di media sosial.

Padahal seharusnya pemer­intah memberikan unsur kebe­basan kepada masyarakat untuk bisa menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kreativitasnya, tanpa harus dibayang-bayangi aksi penutupan yang dilakukan oleh pemerintah.

Tapi hoax itu kan merugi­kan?
Kan sudah ada undang-un­dangnya. Misalnya kalau masuk delik fitnah, ya laporkan saja. Jangan diatur-atur, karena se­olah-olah seperti di koran, kita darurat hoax. Lha kalau ada yang melanggar atau mengancam negara, itu yang harus ditindak, aturannya jelas.

Jadi pemerintah harus bagaimana?
Kalau soal dinamika antarma­nusia pemakai sosmed, pemerintah harusnya luwes, biarkan dinamis.

Pemerintah harus berperan seperti wasit di pertandingan sepak bola. Wasit kan hanya mengawasi dan semprit bila terjadi pelanggaran, wasit tidak mengatur bola harus ditendang ke kiri atau ke kanan.

Maksudnya?

Jadi yang diatur itu hanya batasannya, bukan mengatur orangnya harus bagaimana. Supaya masyarakat menyadari ketika anda begini, akibatnya akan begini. Masyarakat jadi tahu konsekuesi terhadap apa yang dilakukannya di dunia maya.

Pandangan Anda kok seper­tinya cenderung kontra terhadap pemerintah meski Anda politikus Partai pendukung pemerintah? 
Tidak kok, saya sangat men­dukung pemberantasan hoax. Saya setuju jika pemerintah mau buat Badan Siber Nasional. Tapi jangan mengatur. Karena kalau dia mengatur, nanti akan membelenggu hak masyarakat. Harusnya mengawasi saja.

Kalau hanya diawasi dan tidak mengatur dengan ketat, apa bisa memberantas hoax?
Bisa saja, selama hukumannya diterapkan dengan tegas, untuk menyebabkan efek jera. Jadi kalau sudah diblokir, jangan ada lagi misalnya bisa direhabilitasi agar nanti bisa aktif lagi. Sekali semprit, semprit saja. Jangan buka celah untuk digugat atau disangkal.

Ada masukan lain kepada pe­merintah terkait masalah ini?
Saya sarankan agar pemerintah lebih rileks menyikapi masalah ini. Coba adakan pertemuan dengan netizen, guna mensosial­isasikan masalah ini. Rangkul mereka, ajak diskusi, dan berikan pemahaman dulu biar mereka juga mengerti batasan-batasan­nya. Jangan langsung tahu-tahu bentuk badan yang siap jatuh­kan sanksi, seperti orang yang memusuhi.

Pemerintahan sekarang kan bisa menang (di pilpres dulu) juga karena merangkul neti­zen. Jadi kenapa menghadapi fenomena ini tidak melakukan hal serupa.(rmol)



loading...

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

loading...