“SK Bodong Gubernur” Dibatalkan Mahkamah Agung, Ahok Perkaya Bisnis Bos Aguan “APG” di Thamrin City


MEDIA NKRI INFO-Putusan Mahkamah Agung yang memperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang membatalkan SK Gubernur Nomor 273 Tahun 2014, menjadi kesimpulan yang sahih akan adanya permainan mafia dalam bisnis properti yang di dukung oleh Pejabat paling berkuasa di DKI Jakarta. Seperti menjadi sebuah kebetulan yang rasional, ketika hari ini Gubernur DKI Jakarta, banyak menggunakan argumentasi hukum dan diskresi jabatan untuk memberikan legalitas izin-izin pengoperasian bisnis para pengembang besar, dengan ketentuan menarik kompensasi dana CSR dari setiap kesepakatan bisnis yang dibuat diantara mereka. SK gubernur nomor 273 tersebut, menjadi bukti formil adanya kompromi yang begitu baik serta terstruktur antara Gubernur dan para pengembang. Disisi yang berbeda, Gubernur tampak ambisius dan tidak kenal ampun, menghabisi pemukiman masyarakat miskin yang diklaim menempati tanah-tanah negara. Dalam kasus SK nomor 273, tampak serupa yang dialami oleh masyarakat miskin, substansinya adalah pengusiran warga yang tidak mampu menyewa tarif komersial, dimana para pembeli properti sarusun, dibebankan biaya tagihan pengelolaan yang semakin mahal, yang secara tidak langsung mengizinkan niat bisnis pengembang Agung Podomoro Group yang memiliki maksud terselubung agar para pemilik sarusun dan lapak kios pedagang dapat menjual hak miliknya ketika merasa keberatan dengan naiknya retribusi hunian, mengingat lokasinya yang strategis dikawasan jantung bisnis Ibu Kota negara yang menjadi incaran banyak kalangan pebisnis besar.

Permasalahan pengalihan aset bersama yang dimiliki oleh para pemilik sarusun The Jakarta Residence dan pedagang pemilik lapak kios di Thamrin City, yang dilakukan oleh pihak Agung Podomoro Group melalui badan pengelola PPPSRS-sementara yang dibentuk hingga awal Tahun 2011, telah merubah sebagian peruntukan gedung menjadi Hotel Amaris dibawah pengelolaan PT Central Indah Palace (CIP) dimana 75% sahamnya dikuasai oleh Agung Podomoro Group. Diketahui sumber konflik yang terjadi antara para pemilik sarusun dan pedagang versus pihak APG terjadi ketika diawal bulan Februari 2012 “tanggal 2/02/2012” badan pengelola PPPSRS yang didirikan sementara, kemudian menetapkan kepengurusan PPPSRS baru yang diketuai oleh Johan Gito yang menjabat sebagai Direktur Property Management PT Agung Podomoro. Keputusan PPPSRS yang lama menunjuk petinggi PT. Agung Podomoro menjadi ketua PPPSRS disertai pula dengan kebijakan pengalihan fungsi prasarana gedung bersama, menjadi Hotel Amaris yang pengoperasiannya dijalankan pada tanggal 23 Nopember 2011, dimana salah satu anak perusahaan APG yaitu CIP menandatangani perjanjian pengelolaan hotel dengan PT Amaris International Management(AIM), dimana CIP menawarkan kerjasama pengoperasian sebuah hotel di area seluas ± 4.639,75 m2 yang terletak di Thamrin City, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dalam catatan laporan penambahan aset di pihak APG sendiri melalui anak perusahaannya PT Central Indah Palace (CIP), disebutkan nilai aset dari pengoperasian Hotel Amaris di Thamrin City pada Tahun 2012 mencapai Rp 63,66 Miliar, disusul penambahan nilai aset di Tahun 2013 yang mencapai Rp 80,16 Miliar, kemudian catatan nilai aset pada Tahun 2014 sebesar Rp 79,29 Miliar dan catatan nilai aset pada akhir Tahun 2015 mencapai Rp 74,89 Miliar.

Preseden hukum dalam pembatalan SK Gubernur yang dicantumkan dalam amar putusan MA tersebut, menjadi fakta hukum yang tidak bisa terbantahkan bahwa kewenangan Gubernur dapat disalahgunakan oleh pejabat yang bersangkutan, untuk memberikan keuntungan bisnis kepada pengusaha pengembang, karena diakui oleh Gubernur terdapat kesepakatan dengan para pengusaha untuk menyerahkan dana CSR kepada dirinya. Gubernur tidak mau tahu, apakah proses “legal formilnya maupun legal materilnya” sudah sesuai dengan pelaksanaan praktek bisnis yang sehat, memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, dan memberikan keadilan kepada pengguna jasa (konsumen/masyarakat/pedagang dengan alas hak milik). Dalam studi kasus SK 273 tersebut, Gubernur mengabaikan kepentingan konsumen (pemilik sarusun komersial dan para pedagang pemilik kios) yang dirugikan dalam rangkaian kebijakan penetapan akta pembentukan badan pengelola yang dibentuk oleh pengembang Agung Podomoro Group yang dilakukan secara sepihak dan dengan melawan hukum, yang semakin memiskinkan para pemilik hunian dan pedagang dengan penetapan tarif pengelolaan yang semakin mahal.
Jika nasib para pemilik unit sarusun dan pedagang pemilik lapak kios yang memiliki legalitas hak milik berdasarkan praktek bisnis yang sah, diperlakukan seperti ini, melalui “permufakatan jahat” upaya monopoli pengelolaan bisnis oleh para pengembang, dengan maksud terselubung, hendak mengusir para pemilik dan pedagang yang tidak mampu membayar tarif komersial yang mahal, apa jadinya dengan masyarakat miskin DKI yang tinggal di daerah bantaran kali dan waduk, didaerah lintasan rel kereta, dibawah kolong-kolong fly over, dan berbagai tempat kumuh yang tersebar di DKI, yang sama sekali tidak memiliki alas hak yang jelas, kecuali berstatus menempati tanah-tanah negara. Status warga miskin DKI akan lebih mudah untuk dimanipulasi dan diusir dengan bermodalkan justifikasi diskresi Gubernur, bersama-sama maksud terselubung para pengembang (manipulasi kesepakatan bisnis, tunjuk pengelola boneka, naikkan tarif/retribusi, pungutan pajak PPN, palsukan akta notaris, minta terbitkan SK bodong gubernur) untuk menguasai pengembangan properti di Jakarta, termasuk “permufakatan jahat” untuk menguasai tanah tanah gusuran Pemprov melalui kesepakatan bisnis dalam pengelolaan unit BLU Pemprov DKI (sebutan kompensasi peningkatan prosentase tarif komersial oleh pengembang, mengusir warga pribumi yang tidak mampu bayar).
Kembali ke permasalahan yang menimpa para pemilik sarusun komersial The Jakarta Residence dan pedagang pemilik lapak kios di Thamrin City yang dirugikan oleh serangkaian manipulasi pembentukan badan pengelola (PPPSRS) oleh pengembang APG dan puncaknya dengan diterbitkannya SK bodong Gubernur di tahun 2014 (SK yang memfasilitasi kepentingan bisnis APG dan merugikan pemilik sarusun serta pedagang pemilik kios), jauh hari sebelum diterbitkannya SK Gubernur nomor 273 Tahun 2014, para Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (sarusun) Komersial Campuran Apartemen, The Jakarta Residence dan Pusat Perdagangan Thamrin City, mengadakan banyak sekali upaya mediasi dengan Pemprov DKI untuk menunda keputusan pengesahan akta pembentukan PPPSRS (Perhimpunan Penghuni Pemilik Satuan Rumah Susun) yang menjadi obyek sengketa. Sebab intervensi dan monopoli kepengurusan PPPSRS yang dibentuk oleh pengembang, dimana struktur kepengurusan secara mayoritas ditempati oleh sebagian besar staf dan pegawai dari Agung Podomoro Group (APG), yang berdampak terhadap lahirnya berbagai kebijakan pengembang yang dilakukan secara sepihak, dengan menaikkan tarif pengelolaan sarusun/apartemen komersial dan pusat perbelanjaan Thamrin City yang memberatkan para pemilik unit sarusun dan para pedagang pemilik lapak kios. Selain itu, atas izin pengelola baru yang ditunjuk oleh Agung Podomoro Group (APG) terjadi upaya konversi fasilitas gedung (PSU) yang dimiliki secara bersama-sama diantara pengembang dan pemilik sarusun/pedagang menjadi unit-unit bisnis yang diperjualbelikan oleh pihak APG.
Sehingga pada tanggal 22 Oktober 2012, atas mediasi yang intensif antara para pemilik sarusun dan pedagang di Thamrin City, pihak Pemda yang diwakili oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan surat yang diberi Nomor : 9526/-1.796.71 tertanggal 22 Oktober 2012, yang memerintahkan penangguhan proses pengesahan akta pembentukan PPPSRS The Jakarta Residence dan Pusat Perdagangan Thamrin City sampai adanya penyelesaian permasalahan mengenai kepemilikan dan pengelolaan unit sarusun dan kios para pedagang. Permintaan para pemilik sarusun Apartemen Komersial dan pedagang Thamrin City agar Pemprov DKI memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan ekonomi bagi para penghuni yang telah membeli unit  sarusun maupun kios, yang telah banyak dirugikan dengan terbentuknya pengelola baru yang tidak merepresentasikan keterwakilan para penghuni dalam kepengurusan PPPSRS serta dampak kebijakan pengelola boneka yang semakin memberatkan para pemilik sarusun dan lapak kios pedagang dengan tarif sepihak yang terlampau mahal (berpotensi mengakibatkan kebangkrutan usaha pedagang dan para pemilik sarusun).
Dibawah kepengurusan baru, yang dibentuk oleh mayoritas staf dan karyawan Agung Podomoro Group, terjadi pengalihan fungsi prasarana dan fasilitas umum (PSU) seperti bangunan yang dimiliki bersama antara para pemilik sarusun komersial dan pedagang Thamrin City yang berubah fungsi dan peruntukannya menjadi unit-unit bisnis yang dikelola sendiri oleh pengembang, diantaranya perubahan fasilitas umum menjadi Hotel Amaris, perubahan fasilitas bersama menjadi sentral bisnis (perkantoran) yang disewakan oleh pengembang, perubahan fasilitas umum menjadi Universitas yang dikelola oleh pengembang, banyaknya bangunan bersama yang berubah fungsi menjadi lapak-lapak yang disewakan maupun diperjualbelikan, dan banyaknya masalah jual-beli kios yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Pihak APG melalui pengelola boneka yang ditunjuknya, telah melakukan pelanggaran hukum yang melanggar peyediaan fasilitas umum bagi para penghuni, dengan melakukan upaya mengkapitalisasi fasilitas fasilitas publik yang menjadi hak bersama para pemilik sarusun dan pedagang di thamrin city yang kemudian dikonversi secara sepihak menjadi unit-unit baru yang diperjual-belikan oleh Agung Podomoro Group. Sehingga tidak mengherankan mengapa pihak pengembang memaksakan terbentuknya badan pengelola baru yang diminta untuk disahkan melalui SK Gubernur, dimana sebagian besar pengurusnya berasal dari karyawan dan staf Agung Podomoro Group, bahkan penunjukkan Ketua PPPSRS yang baru tersebut berasal dari orang penting di jajaran pengurus APG, yaitu Johan Gito yang menjabat sebagai Direktur Property Management PT Agung Podomoro dan sebagai Chief Executive Officer Harco Glodok. Kehadiran pengurus boneka APG di sarusun komersial The Jakarta Residence dan pusat perdagangan Thamrin City bertujuan untuk mengontrol peningkatan biaya sewa, tarif pengelolaan gedung, dan merubah berbagai fungsi PSU yang menjadi hak para penghuni (pemilik dengan alas hak), untuk dijadikan sumber pendapatan bisnis pihak pengembang.
Regulasi yang mengatur keanggotaan PPPSRS (Perhimpunan Penghuni Pemilik Satuan Rumah Susun) tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 1 angka 19 dan 21, yang menyebutkan definisi Perhimpunan Pemilik dan Penghuni sarusun yang selanjutnya disebut PPPSRS adalah Badan Hukum yang beranggotakan para Pemilik atau Penghuni Sarusun, sedangkan Penghuni adalah orang yang menempati Sarusun baik sebagai pemilik maupun bukan pemilik/penyewa. Upaya monopoli keanggotaan PPPSRS yang dilakukan oleh staf dan karyawan Agung Podomoro Group, secara terang-terangan melanggar ketentuan yang diatur dalam UU nomor 21 Tahun 2011. Dengan konsekuensi perluasan agenda bisnis yang telah ditunjukkan beberapa tahun terakhir, semenjak terbentuknya pengurus PPPSRS boneka APG, terdapat niat yang tidak baik, agar pembentukan PPPSRS tidak melibatkan para penghuni sarusun dan para pedagang yang berkepentingan dengan semua keputusan pengelolaan unit bisnis pengembang untuk menetapkan sejumlah persoalan penting, diantaranya pengelolaan lahan bersama, penetapan tarif pengelolaan gedung, dan konversi peruntukkan gedung.
Serangkaian intervensi pengembang APG dalam pembentukan PPPSRS The Jakarta Residencedan Thamrin City, tampak tidak mengejutkan apabila mendapatkan dukungan penuh dari Gubernur DKI, dimana SK yang diterbitkan oleh Gubernur yang disertai pengesahan akta terbentuknya PPPSRS versi APG, sejalan dengan komitmen kesepakatan bisnis yang dibuat oleh Gubernur, yang banyak menerima dana CSR dari para pengembang properti di Jakarta, dengan ketentuan setiap peningkatan tarif yang dilakukan oleh pengembang, dikenakan prosentase 20% dari nilai koefisien bangunan komersial, untuk dijadikan setoran dana CSR kepada Gubernur.  Sangat disayangkan, niat baik gubernur untuk meningkatkan pendanaan dari dana CSR, dilakukan dengan mengesahkan keputusan yang bertentangan dengan prinsip prinsip hukum, mendukung upaya manipulasi dan monopoli pengelolaan sarusunThe Jakarta Residence dan pusat perbelanjaan Thamrin City yang dilakukan oleh para karyawan dan staf pengembang APG yang mengatasnamakan para pemilik Sarusun dan pedagang. Dengan dikeluarkannya SK Gubernur tersebut, pihak pengelola bisnis yang diwakili oleh Agung Podomoro Group, dapat mengambil keputusan secara sepihak tanpa melibatkan anggota sarusun yang memiliki alas hak yang sah, untuk menaikkan biaya pengelolaan komersial sarusun dan pusat perdagangan, termasuk berwenang untuk mengkonversi berbagai fasilitas bersama, menjadi unit-unit yang dapat diperjual-belikan untuk meningkatkan profit bisnis Agung Podomoro Group.
Terlepas dari fakta hukum yang disajikan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung yang secara jelas menyebutkan adanya pelanggaran dalam proses terbentuknya PPPSRS, dan memerintahkan agar Gubernur membatalkan SK Nomor 273 Tahun 2014, yang telah diselesaikan dalam sengketa TUN melalui upaya hukum di peradilan tata usaha negara. Justru keputusan MA telah memperkuat bukti adanya upaya dari Gubernur untuk memperdagangkan pengaruh/kekuasaannya, sebagai pejabat berwenang dalam menerbitkan Surat Keputusan (SK Gubernur) yang dapat berkonsekuensi menjadi kekuatan hukum yang mengikat dan melegitimasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para pihak di Agung Podomoro Group (APG). Seharusnya KPK segera melakukan pemeriksaan terhadap proses keluarnya SK bodong Gubernur, setelah mendapatkan putusan yang “inkracht van gewijsde” dari Mahkamah Agung yang telah membatalkan SK Gubernur dengan pertimbangan majelis bahwa terhadap keputusan Gubernur telah bertentangan dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b meliputi tertib dalam penyelenggaraan negara, adanya keterbukaan, dan pelaksanaan pemerintahan secara profesional, dan bertentangan dengan praktek Pemerintahan berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga patut untuk diduga surat keputusan Genurnur diterbitkan secara melawan hukum dan dilandasi adanya upaya transaksi kewenangan yang menguntungkan kepentingan bisnis pengembang.
Dalam argumentasi eksepsi yang disampaikan oleh kuasa hukum Gubernur sebagai tergugat dalam permohonan gugatan TUN yang disampaikan dihadapan majelis hakim, tanggapan Gubernur terkait dasar penetapan SK gubernur nomor 273 Tahun 2014, yang membenarkan perannya sebagai pejabat gubernur, yang tidak dapat mengesampingkan atau membatalkan kesepakatan-kesepakatan dalam praktek bisnis yang tertuang dalam Akta Notaris yang dimohonkan oleh para pengembang dan bahkan dalam eksepsinya Gubernur menyatakan dirinya terikat untuk tunduk pada keputusan yang dikuatkan dengan Akta Notaris yang dikeluarkan atas nama perhimpunan penghuni sarusun The Jakarta Residence dan pedagang Thamrin City. Sekalipun dirinya tidak dapat memastikan apakah pembentukan badan pengelola/perhimpunan sarusun telah dimanipulasi oleh pengembang Agung Podomoro Group, dimana struktur ketua badan pengelolanya dijabati oleh pejabat Direktur Property Management PT Agung Podomoro selaku pihak tergugat dalam sengketa pengelolaan sarusun The Jakarta Residence dan Pusat Perbelanjaan Thamrin City. Pihak Gubernur sebenarnya telah lebih lama mengetahui adanya sengketa pengelolaan sarusun dan pusat perdagangan di Thamrin City, sebelum SK Gubernur nomor 273 Tahun 2014 diterbitkan, sejak dikeluarkannya akta notaris Tahun 2011 (Akta Notaris P. Sutrisno A. Tampubolon, Notaris 01 tanggal 2 Februari 2011 yang kemudian ikut dibatalkan dalam amar putusan MA, dan disimpulkan sebagai akta bodong), para pemilik sarusun dan pedagang, telah berulang kali melayangkan proses penundaan pengesahan akta kepengurusan, sampai adanya itikad baik dari pengembang APG untuk mengembalikan hak pengelolaan kepada para pemilik sarusun dan para pedagang pemilik kios yang memiliki alas hak milik serta memiliki hak untuk ikut menentukan struktur pengelolaan unit komersial yang sangat berpengaruh terhadap nasib unit unit sarusun dan lapak kios yang mereka miliki. | DEP PU&PK DPP DEMOKRAT
loading...

Subscribe to receive free email updates:

loading...